Nasionalisme Tinggal Nama

Sabtu, 17 September 2011

Oleh: Adriansyah


Pancasila merupakan ideology bangsa yang telah dirumuskan oleh para founding father, beberapa ahli sejarah berpendapat Bung Karno adalah penggali Pancasila, namun tetap saja kita tidak boleh mengkultuskan satu individu saja.


Peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 seharusnya lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideology pada semua bidang kehidupan bangsa. Pancasila adalah ideology paling tepat buat bangsa kita. Pancasila memberikan tempat kepada semua agama, golongan dan suku bangsa. Bila mau memilih ideology lain, pasti bertentangan dengan ideology lain.


Dalam pidatonya, bung Karno mengungkap tentang NASAKOM (Nasionalis, Agama,dan Kom). Banyak yang berpendapat bahwa Kom adalah komunis, tapi beliau menegaskan saya bukan komunis, tapi Kom dalam arti sempit adalah Marxisme atau sosialisme. Beliau juga megatakan “ Pancasila juga untuk Kom, dan jangan mengaku anak cucu bung Karno kalau tidak kiri(sosialis).


Dalam sejarah seringkali terjadi manipulasi, banyak yang mengatakan bung Karno sebagai komunis dan pembodohan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Padahal NASAKOM dan Pancasila adalah suatu bentuk keinginan para founding father untuk menyatukan keragaman budaya dan ideology bangsa.


Pernah muncul suatu fenomena dimana KH. Hasyim Asy’ari yang bekerjasama dengan Bung Tomo seorang sosialis dan nasionalis sekuler untuk mengusir Belanda. Ini adalah fenomena yang jarang bahkan hampir tidak ada kita temukan di negara lain.


Salah satu ideology yang menurut saya menambah martabat bangsa, yaitu BERDIKARI (Berdiri Diatas Kaki Sendiri). Ideology ini membuat Soekarno berani mengatakan pada Amerika kata-kata Go To Hell With Your Aid persetan dengan bantuanmu, dan dengan kaca mata hitamnya beliau berbicara di PBB, “Indonesia Negara besar, jadi kami tidak butuh PBB.” Namun, sayangnya ideology BERDIKARI justru menitis pada tokoh seperti Ahmadinejad, Evo Morales, Moamar Khadafie dan Hugo Chaves yang mencanangkangkan kemandirian ekonomi. Yang perlu ditanyakan, kenapa tidak turun ke anak biologisnya Bung Karno ?


Kita masih ingat ketika presiden RI ke dua yang membuka pasar bagi para pemodal asing di Indonesia, terjadi peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974. Dimana 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 ditahan, 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak, 160 kg emas hilang di beberapa toko emas (Asvi Warman Adam). Ini suatu pertanda rakyat tidak setuju kalau orang asing mendominasi perekonomian.


Apalagi pak mantan presiden ke dua, ketika menandatangani bantuan IMF, justru imbasnya terbawa sampai sekarang. Menurut Anhar Gonggong, setiap Negara yang dapat bantuan dari IMF tidak akan pernah maju, contohnya saja Negara-negara Amerika Latin.


Ketika pak SBY Presidenku mengikuti KTT Non Blok, bergabung dengan Ahmadinejad, Moamar Khadafie, Morales, Chaves beliau melihat para pemimpin Negara itu sangat kasar kepada Amerika dan Israel, sehingga banyak politisi yang menyuruh pak SBY presidenku untuk meniru mereka, tapi pak SBY berkata “saya punya karakter dan jati diri sendiri.” Mungkin pak Susilo lebih suka disebut sebagai orang yang tawasuth (moderat), atau seorang nasionalis tapi agak internasionalis.


Ada yang berpendapat, psikologi rakyat tergantung pemimpinnya. Kalau pemimpinnya punya semangat nasionalisme yang tinggi, maka hasilnya proklamasi 17 Agustus 1945, tapi kalau pemimpinya punya semangat internasionalisme, maka hasilnya neo liberal, liberalisasi pendidikan, budaya hedonisme dan konsumtik. Wajar saja kalau ada acara “Bule Gila” banyak yang tertawa melihat bule jualan gorengan, mungkin mereka berasumsi orang pribumi yang lebih pantas. Apakah para pemuda bangsa masih bisa kritis dengan ideology bangsa di Negara kita ? Atau terbawa westernisasi dan apa saja yang penting dari luar.

Islam Dan Pembebasan

Oleh:Adriansyah

Sejak lebih dari dua dekade yang lalu di kalangan umat Islam Indonesia dihadapkan pada gagasan tentang betapa perlu menghidupkan kembali "teologi rasional". Usaha menghidupkan kembali "teologi rasional" itu dianggap perlu untuk mengejar keterbelakangan umat Islam yang diakibatkan, menurut penganjur gagasan tersebut, antara lain karena mereka terbelenggu oleh "teologi tradisional" yang mereka anut. Teologi ini terutama dikaitkan dengan paham jabariah atau fatalisme, yang dianggap melahirkan sikap pasif, pasrah dan menyerah pada suratan takdir. Prof. Dr. Harun Nasution adalah salah seorang penganjur utama "teologi rasional" itu. Karena itu beliau dianggap sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai "Neo-Mu'tazilah". Tentu saja kita bisa mempertanyakan validitas konstatasi tersebut dilihat dari segi faktual. Bersamaan dengan itu menyembul pula gagasan tentang keperluan usaha pembaharuan dalam pemikiran umat Islam. Salah seorang penganjur utamanya adalah Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) yang mencanangkan ide "liberalisasi" dan "sekularisasi".


Gagasan pembaharuan itu makin menggema dengan lontaran-lontaran ide Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Ia menganggap gerakan "kultural" yang sibuk dalam tataran ide saja belum cukup, akan tetapi ia juga menentang gerakan "politik" yang cenderung memanipulasi agama untuk memperoleh kekuasaan. Gus Dur lebih menekankan perhatian dan pemikirannya pada gerakan "sosio-kultural yang bermuara pada transformasi sosial umat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam perspektif ini terasa "teologi rasional" saja tidak memadai dan tidak menjawab tantangan nyata yang dihadapi umat Islam. Kontroversi antara "teologi rasional" versus "teologi tradisional" bagi kalangan aktivis yang concern pada berbagai fenomena ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat tidaklah relevan. Dirasakan keperluan untuk merumuskan sejenis teologi yang lain, "teologi transformatif". Beberapa pemikir muslim mencoba menggali dan merumuskan "teologi transformatif" itu.


Kesadaran tentang keperluan "teologi transformatif" itu rupanya tidak hanya muncul di Indonesia, akan tetapi juga di negeri-negeri muslim lainnya. Kita bisa menyebut Dr. Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasari 'l-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental "Mina 'l-Aqidah ila 'l-Thawrah" (Dari Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid. Juga Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, "Revelation and Revolution in Islam" (Wahyu dan Revolusi dalam Islam). Selain itu harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India), yang terjemahan bukunya "Islam and Its Relevance to Our Age" ada di tangan pembaca sekarang ini.


Berbeda dengan kedua nama yang disebutkan di atas, Asghar Ali Engineer bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga seorang aktifis. Kebetulan, ia merupakan pemimpin salah satu kelompok Syi'ah Isma'iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay India. Melalui wewenang keagamaan yang ia miliki, Asghar Ali berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.


Untuk memahami latar belakang keagamaan Asghar Ali, ada baiknya diketahui sepintas lalu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki Amiru 'l Mukminin. Mereka mengenal 21 orang Imam. Imam mereka yang terakhir Mawlana Abu 'l-Qasim al-Thayyib yang menghilang pada tahun 526 H. Akan tetapi mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da'i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu. Untuk diakui sebagai seorang Da'i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu seorang Da'i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da'i.


Dengan memahami posisi Asghar di atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan "teologi transformatif" akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi "teologi radikal transformatif". Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan, ia menulis artikel "Teologi Pembebasan dalam Islam". Tulisan-tulisan dalam buku ini sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan "Teologi Pembebasan dalam konteks modern" seperti diinginkan oleh Asghar Ali.


Islam Dan Pembebasan


Perubahan di dunia Islam akhir-akhir ini, telah memunculkan banyak pertanyaan tentang teologi Islam. Para ulama bersikeras memelihara semua dogma teori yang berkembang selama berabad-abad pertengahan. Selama periode Abbasiyah, Mu’tazilah, dan Ismailiyyah telah mengembangkan teologi rasional, sementara Qramitah sebuah cabang Ismailiyah mengembangkan teologi revolusioner. Meskipun dengan pendekatan yang sangat dogmatis, Khawarij sebenarnya juga anti kemapanan dan telah mengembangkan teologi yang sesuai dengan sikap anti kemapanan tersebut. Akan tetapi, semua sekte ini dianggap bid’ah oleh arus umum ulama ortodoks, dan karena itu mereka tidak mempengaruhi arus umum teologi Islam.


Barangkali menarik bagi kita untuk melirik sekilas aliran-aliran ini, seperti filsafat dengan teologinya, bukan hanya karena ia penting secara historis, melainkan hal ini juga sangat membantu dalam mengembangkan Teologi Pembebasan konteks modern. Karena beberapa alas an, periode Abbasiyah mempunyai signifikansi yang besar dalam dunia Islam. Pertama, rezim Abbasiyah berdiri untuk menentang rezim Umayyah, yang sudah dibenci rakyat, terutama rakyat non Arab. Hal ini terjadi karena kebijakan-kebijakannya eksploitatif dan menindas. Dengan demikian, kehadiran Abbasiyah meraih kesuksesan. Dengan demikian, kehadiran Abbasiyah membawa aspirasi rakyat yang tertindas tersebut, baik dari kalangan Arab maupun non Arab. Kedua, Abbasiyah meraih kesuksesan berkat dukungan orang-orang Persia yang mempunyai peradaban agung dan memiliki semnagat belajar yang tinggi. Elit masyrakat Persia bersama-sama dengan orang Abbasiyah dan kekuatan-kekuatan revolusioner lainnya turut berjuang melawan Umayyah.


Jadi pada awalnya, orang-orang Abbasiyah telah mengadopsi kebijakan-kebijakan yang lebih liberal dalam permasalahan agama untuk mengakomodasi sentiment-sentimen non-Arab yang merupakan pendukung inti Amerika. Para intelektual Persia terkemuka telah menduduki pos-pos pemerintahan yang sangat penting dalam pemerintahan Abbasiyah. Dibawah pengaruh mereka, Abbasiyah terdorong untuk melakukan penerjamahan karya-karya klasik dari bahasa Yunani dan India tentang Filsafat, matematika,astronomi, dan berbagai ilmu lainnyna dalam skala luas.


Mansur al-Hallaj, seorang ulama sufi terkemuka yang dihukum gantung oleh rezim Abbasiyah, juga merupakan anggota kelompok sekte Islam yang revolusioner ini. Ia terlibat dalam suatu konspirasi untuk menjatuhkan kekuatan Abbasiyah. Ia melakukan korespondensi rahasia dengan kelompok Qramitah dan surat-surat ini dibacakan ketika ia diadili oleh pengadilan Abbasiyah. Penting untuk dicatat bahwa al-Hallaj, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, termasuk orang yang berprofesi terencana dan memperjuangkan persoalan kaum buruh kecil.


Teologi pembebasan adalah kebutuhan saat ini suatu teologi yang meletakkan berat pada kebebasan,persamaan keadilan distribusi, menolak keras penindasan, penganiayaan, dan eksploitasi manusia oleh manusia.


Ciri utama dari Teologi Pembebasan adalah pengakuan perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-materil kehidupan manusia dengan penyusunan kembali tatanan sosial sekarang ini menjadi tatanan yang eksploitatif , adil dan egaliter. Seperti dijelaskan Roger Garaudy, agama sebagai metode pengambilan jarak secara kritis dari yang sudah di baku, suatu instrument untuk mencari dan membuat kemungkinan-kemungkinan baru, telah menjadi apologetic, dan menjadi justifikasi.


Teology pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Kehidupan dengan sesuatu kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam “masyarakat satu dimensi,” yang menolak usaha apapun untuk keluar dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan baru guna menambah dimensi-dimensi baru. Teologi yang berkembang selama abad pertengahan tidak bisa melayani kebutuhan masyarakat modern yang sangat kompleks. Dengan daya dorongnya sendiri, masyarakat industry telah menimbulkan perubahan-perubahan yang cepat dalam bidang materiil dan juga bidang ilmu pengetahuan.


Teologi pembebasan mempertahankan kesatuan manusia, dan tidak mentolerir perbedaan apapun, baik yang berdasarkan kasta, kelompok, kelas, maupun ras. Secara terus-menerus ia berupaya mencapai kesatuan dengan menyingkirkan semua perbedaan yang ada. Bahkan perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada agama lebih tampak dari yang sesungguhnya.


Oleh karena itu, penekanan yang sesungguhnya adalah pada amal saleh, bukan pada cara-cara peribadatan yang bisa jadi berbeda di satu sama lain. Teology pembebasan juga menyandarkan keadilan sebagai salah satu doktrin al-Qur’an yang paling penting.


Jadi, keadilan merupakan kepentingan utama Teologi Pembebasan Islam. Orang harus adil, meskipun terhadap dirinya sendiri, teman dekatnya, atau kekasihnya sendiri. Seseorang tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu karena hal itu akan mendorong berbuat zalim, merugikan keadilan yang dijunjung oleh Islam.


Teologi pembebasan berusaha menekan kembali titik perhatian Islam, yakni keadilan sosial dengan prioritas utama perhatian kelompok-kelompok lemah dan mass tertindas; pembentukan kembali masyarakat yang bebas dari kepentingan-kepentingan primodialistik. Terakhir, Teologi pembebasan mengarahkan pada terciptanya masyarakat “tanpa kelas” yang menjadi tujuan sejati dari masyarakat tauhid.


Ashgar ali Engineer.2007.Islam Pembebasan.Jakarta: LKis