Oleh
Adriansyah
(Marketing Rasulullah SAW)
Tafsir Al-Qur’an
merupakan penciptaan makna terhadap teks Al-Qur’an menurut penafsir, beda
penafsir akan memunculkan beda penafsiran. Karena tidak adanya tafsiran
Al-Qur’an yang pasti dari Rasulullah SAW terhadap maksud Allah SWT maka penafsiran Al-Qur’an akan terus ada.
Seringkali karena penafsiran yang berbeda dapat menyebabkan adanya saling
menyesatkan antara umat Muslim, dan faktor utamanya adalah perbedaan ideologi
dan mazhab.
Apabila suatu
golongan Muslim menganggap golongan
Muslim lain salah, maka yang terjadi adalah saling menghakimi satu sama lain,
dan itupun juga akan menjadi sumber konflik. Namun, apabila suatu golongan
Muslim menganggap golongan Muslim
lainnya bersifat sejajar, maka yang terjadi adalah dialog dan diskusi. Karena
sejatinya Islam itu lebih luas dari seseorang, maka tidak seharusnya seorang Muslim
merasa dirinya paling benar lalu menghakimi dan merendahkan seorang Muslim lainnya
yang berbeda dengannya.
Akhir-akhir ini
sering terjadi konflik antara sesam
Muslim, misalnya saja seperti konflik di Sampang Madura yang akhirnya membuat
warga Syiah terusir dari kampung halamannya. Lalu juga ramai dimana wali kota
Bogor melarang perayaan Asyura yang dilaksanakan warga Syiah, padahal UUD
Republik Indonesia memberi kebebasan warganya beribadah sesuai dengan
kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, artinya walaupun Wali Kota Bogor
tidak sependapat dengan Syiah namun haruslah membuat kebijakan yang sesuai
konstitusi Negara ini. Apalagi ada ormas
yang ingin menuntut pemerintah untuk menutup Dubes Iran karena merupakan
Negara mayoritas Syiah. Perlu juga diketahui, peristiwa Karbala bukan hanya
untuk Syiah, tapi juga untuk kaum Sunni, karena pada peristiwa tersebut terjadi
pembunuhan sadis terhadap Sayyidina Husein (cucu Rasulullah SAW) akibat
menentang kezaliman, maka sewajarnya siapapun Muslim akan terenyuh dengan
peristiwa pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Dalam pencarian
titik temu antara Sunni dan Syiah seringkali terkendala oleh beberapa faktor.
Pertama, seringnya warga Syiah rofidlah
yang mencaci maki sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah,
Thalah dan Zubair. Begitu juga Syiah rofidlah
seringkali mencaci maki istri Nabi SAW yaitu Aisyah. Kedua, Syiah rofidlah dalam ritual Asyura melakukan
aksi melukai diri dengan pedang atau cambuk, dan ritual ini dianggap kaum Sunni sebagai ritual bid’ah. Ketiga, konsep
Imamah Syiah membuat Sunni dan Syiah berbeda dalam rukun iman dan rukun Islam.
Maka kalau meminjam teori Lewis Coser, konflik Sunni Syiah adalah konflik yang
bersifat non material, bukan lagi karena politik atau ekonomi, tapi sudah
sampai ke konflik atas dasar aqidah, dengan perbedaan tersebut dan ditambah
seringkali terjadinya konflik antara Sunni dan Syiah menyebabkan identitas
internal kelompok menjadi semakin kuat,
dan keduanya semakin sulit untuk dipertemukan.
Yang terpenting
saat ini adalah mencoba sejajarkan antara Sunni dan Syiah sebagai sesama
Muslim, sama-sama beriman kepada Allah SWT, sama-sama beriman kepada Nabi
Muhammad SAW, dan sama-sama beriman kepada
Al-Qur’an. Setelah kesejajaran dipertemukan, maka akan mudah terjadi dialog
antara keduanya, dan dengan mudah mencarikan resolusi konflik. Salah satu cara
mendapatkan resolusi konflik antara Sunni dan Syiah adalah dengan mencari musuh
bersama yang sebenarnya. Musuh yang pertama adalah kelompok Sunni yang takfiri dan kelompok Syiah yang takfiri, musuh yang kedua adalah sistem
kapitalisme global dan neo imperialisme
yang menyerang Negara-negara Muslim. Yang paling terpenting kelompok Syiah
berhenti mencaci maki sahabat dan istri Nabi Muhammad SAW dan Sunni berhenti mengatakan kalau Syiah
adalah golongan di luar Islam.
Dengan semakin
keluasan pandangan kaum Muslimin akan membuat suatu saat muncul kesadaran bahwa
Islam sejatinya hanya satu, faktor politik dan perbedaan penafsiran terhadap
teks suci menjadi penyebab perpecahan. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hassan
Hanafi, tauhid sebaiknya bukan hanya dipahami secara teori, tapi tauhid harus
dimasukan kedalam ranah praktis, atau tauhid sebagai “kata kerja.” Karena kalau
tauhid dimasukan kedalam ranah praktis maka Islam akan kembali pada fungsinya yaitu
sebagai agama yang universal, dan tauhid akan menghilangkan perpecahan dan
pengotak-ngotakan sesama Muslim. Konflik ideologi dan mazhab akan berubah
menjadi aksi tolong menolong dalam kebaikan, pembelaan pada kaum miskin tertindas,
dan mewujudkan keadilan sosial.