Oleh: Adriansyah
Muslim Nusantara agak berberda dengan Muslim di Timur Tengah dalam hal manifestasi berkehidupan, namun dalam jaringan keulamaan masih terjalin hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara. Hanya saja, dalam penyebaran Islam di Nusantara tidak menggunakan cara ekspansi, tapi menggunakan metode mistik, sebab warga Nusantara menyambut ramah para imigran muslim dan sama sekali tidak melakukan penolakan keras, sehingga dakwah terjalin lewat jalur kebudayaan.
Mistik yang digunakan oleh para Wali meggunakan ajaran tasawuf yang mengajarkan tarekat, hakekat, dan ma'rifat. Para Wali menunjukkan karomah-karomah yang mereka miliki, dan itu berhasil menarik para pendeta Hindu dan para raja untuk menyatakan memeluk Islam. Bahkan, kaum kejawen yang tidak menjalankan syariat Islam secara formal sangatlah meyakini kalau para Wali adalah orang suci yang memiliki karomah, dan mereka sangat menghormati para Wali, seperti Permadi (tokoh Kejawen) meski tidak shalat lima waktu namun ia masih sering berziarah ke makam-makam Para Wali.
Dakwah dengan Wayang, gamelan, musik bonang, dan tarian akan lebih bisa menyentuh spiritual, dibanding dakwah yang hanya mengajarkan formalitas agama. Karena dakwah dengan kesenian lebih akan mudah memahami filosofi dari Islam, sehingga orang menjalankan syariat menjadi sebuah kebutuhan jiwa bukan karena formalitas semata. seperti yang dikatakan Nakamura, bahwa tembang Jawa sering digunakan untuk menguraikan kehidupan para Kyai.
Muslim Nusantara dalam penyebaran Islam tidak bisa lepas dari asketisme, seperti terlihat bahwa tradisi mujahadah adalah bagian dari kurikulum pesantren-pesantren diseluruh Nusantara. Sebagaimana dalam tembang Sinom Jawa:
"Barangsiapa yang meninggalkan rumah, berkelana ke tempat-tempat sepi untuk menyerap pelajaran-pelajaran lama, mencari kefanaan dengan tujuan suci, berusaha dengan mengendalikan hawa nafsu, siang dan malam akan melakukan perbuatan terpuji bagi sesama."
Dalam tembang ini menunjukkan bahwa perilaku asketis secara langsung dapat mempengaruhi perilaku seorang Muslim untuk senantiasa melakukan perbuatan terpuji pada sesama, maka kesolehan individual tidak terpisahkan dengan kesolehan sosial.
Latihan spiritual, seperti menyepi, berziarah ke makam keramat, melakukan wirid-wirid, dan laku prihatin seperti puasa menjadi ciri khas dari kaum muslim Nusantara. Namun, dalam hal puasa ada perbedaan antara muslim Nusantara dengan Timur Tengah, selain puasa yang di sunnahkan Nabi SAW juga ada puasa-puasa seperti mutih (hanya makan nasi dan air putih), puasa putih manis buah (hanya makan nasi dan buah-buahan), ngerowot (hanya makan umbi-umbian), dan puasa ngebleng ( tidak makan, tidak minum, tidak berbincang dan tidak tidur). Ritual-ritual tersebut memang sekilas tidak terlihat dalilnya, tapi bisa disamakan dengan perilaku Sayyidan Ali bin Abi Thalib yang hanya makan gandum tawar, minyak samin dan air putih sebagai bentuk sikap zuhud.
Ada lagi yang unik dan berbeda antara muslim Nusantara dengan Timur Tengah, seperti ritual yang dilakukan umat muslim di Pelabuhan Ratu, tradisi memberi sedekah laut dan bertawasul dengan Ibu Ratu Kidul adalah tradisi yang sudah menjadi turun-temurun. Dan praktek doanya juga membaca tahlil, shalawat, dan tawasul ke para Nabi, sahabat, Syekh Abdul Kodir Jailani, para Wali, dan Ibu Ratu. Ini bukanlah tradisi yang tiba-tiba datang, tapi ada sisi historisnya, bahwa sosok Waliyullah seperti Sutawijaya (Raja Mataram), Sultan Agung, dan Pangeran Dipoegoro juga pernah menjalin komunikasi spiritual dengan Ibu Ratu Kidul. Tujuannya untuk menjaga hubungan diplomasi antara kerajaan Jawa dan kerajaan gaib.
Muslim Nusantara masih terus bisa menjaga eksistensinya disebabkan karena Muslim Nusantara selalu menjaga tradisi tabarruk (mencari berkah), bentuk tabarruk antara lain berziarah ke makam Waliyullah dan orang soleh, sowan ke Kyai dan sebaigainya. Sebenarnya mereka tidak memerlukan AD/ART atau banom untuk terus menjaga eksistensi mereka, tabarruk adalah intisari dari kekuatan Muslim Nusantara. Lihatlah ormas-ormas Islam yang mengharamkan tabarruk, mereka ada yang bubar dan ada yang sulit berkembang secara pesat.
Peran latar belakang sosial-budaya dan sejarah adalah faktor yang menentukan dalam proses terbentuknya tradisi-tradisi muslim Nusantara yang khas. Penghayatan terhadap hakikat Islam menjadikan Muslim Nusantara tidak mudah terjebak pada aksi saling menyesatkan atau mengafirkan sesama Muslim.