ASWAJA DI TENGAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN GLOBAL

Selasa, 15 November 2011

Adriansyah


Banyak yang bertanya apakah ahlussunnah wal Jamaah itu? Siapakah yang dimaksud golongan ahlussunnah wal jama’ah? Ada juga yang pernah menjawab ahlussunnah wal jamaah memiliki ciri kalau salat subuh memakai qunut, salat jumat adzan dua kali, merayakan maulid nabi Muhammad saw, ziarah kubur dan lain sebagainya. Dari perkataan itu bisa dikatakan bahwa wawasan sebagian masyarakat terhadap ahlus sunnah wal jamaah masih sangat minim, padahal pemahaman tentang ahlul sunnah wal jamaah masih sangat luas.


Menurut K.H Hasyim Asy’ari ahlussunah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur’an, sunnah rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi rasul dan Khulafaur Rasyidin. Beliau selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut yang mengikuti madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari sebuah hadis, Rasul bersabda bahwa “Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku (Islam) akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat. “ Ketika ditanya, “mana yang akan selamat?” beliau menjawab, “Mereka yang mengikuti jalanku dan para sahabatku”. Kelompok ini berarti sunni, yang bersebrangan dengan syi’ah, yang mengkalim bahwa kepemimpinan umat Islam merupakan hak prerogatif Ali bin Abi Thalib dan keturunannya,syi’ah juga berpendapat bahwa para imam mereka ma’sum(terjaga dari salah dan dosa), keyakinan ahlussunnah kema’suman hanya milik para Nabi dan Rasul


Dalam bidang teologi, sunni mengikuti Asyari’ah, Thowawiyah dan Maturidiah. Muslim sunni mengikuti keabsahan sufi ortodok sebagaimana yang diajarkan oleh Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali yang menolak adanya maqam wahdatul wujud (penyatuan dengan Allah swt) dan hulul yang di ajarkan pada tasawuf falsafi. Ahlussunnah berbeda dengan mu’tazilah, yang tidak percaya pada adanya sifat-sifat Allah (asmaul husnah), karena itu Mu’tazilah bertentangan dengan al Qur’an dan al hadis, mu’tazilah juga mengatakan al Qur’an itu mahluk, yang mushafnya boleh jadi alas duduk atau diinjak, pendapat itu ditentang oleh Imam Hambali, beliau mengatakan al-Qur’an itu firman Allah, dan jawaban itu menyebabkan Imam Hambali dipenjara 8 bulan, dan pada pemerintahan Harun ar Rasyid Mu’tazilah ajarannya dilarang untuk disebarkan. Ahlussunah berbeda dengan Qadariyah, Qadariyah tidak percaya pada takdir, Ahlussunah tidak melakukan ta’wil pada ayat mustasyabihat (maknanya masih samar), dan menyerahkannya kepada Allah, seperti contohnya, firman Allah: “Allah ar- Rahman bersemayam di atas arsy”, kita tidak boleh memaknai kata “bersemayam” sebagaimana seseorang bersemayam. Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang yang pernah berkata, “Allah turun dari arsy seperti Ibn Taimiyah turun dari mimbarnya.” Perkataan Ibn Taimiyah bertentangan dengan paham Ahlussunnah wal jama’ah, karena ia telah menyamakan Allah dengan mahluk ciptaannya.


Pada abad awal abad ke 20, suatu paham yang disebut sebagai paham wahabi yang mempunyai pengaruh cukup kuat pada sebagian orang Indonesia. Paham ini termasuk sangat radikal dalam pemikirannya, wahabi diambil dari nama pendirinya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab, wahabiyah memandang segala bentuk tradisi yang tidak ditemukan dalam sunnah nabi adalah bid’ah yang sesat. Wahabisme mengatakan bahwa umat muslim yang percaya akan adanya karomah para waliyullah dan kekuatan spiritual adalah perbuatan bid’ah dan musyrik. Untuk menghindari bid’ah, kemusyrikan dan khufarat, maka tempat-tempat keramat harus dihancurkan. Maka apabila logika mereka diteruskan maka makam para wali yang ada keramatnya harus dihancurkan, makam para syuhada ada keramatnya harus dihancurkan, makam Rasulullah saw ada keramatnya harus dihancurkan, dan tempat paling keramat seperti Ka’bah pada gilirannya juga harus dihancurkan. Na’udzubillah…!!!


Wari Maulana yang merupakan alumni organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah, mengatakan bahwa gerakan wahabi lebih cocok disebut sebagai “gerakan mutilasi ajaran Islam”. Mereka memvonis ungkapan cinta kaum muslimin kepada Rasulullah dalam bentuk shalawat dan barjanzi pada saat mauludan divonis bid’ah, khufarat dan musyrik. Padahal Allah swt dan para malaikat bershalawat kepada Nabi.


Menurut Sami Agnawi, pakar arsitektur Islam, sejarah mencatat 300 situs bersejarah di Makkah dan Madinah telah dimusnahkan dalam kurun 50 tahun. Itu terjadi karena pengaruh pemikiran wahabi yang sangat hegemonic disana.


Meluasnya pengaruh pemikiran barat dalam dunia Islam, akibat penjajahan (hampir seluruh Negara Islam sampai dengan abad 19 M berada dalam kekuasaan penjajah Barat). Terutama pemikiran dalam masalah-masalah agama yang sedang mengalami transformasi. Jamaluddin Al-Afghani (dalam bidang social politik) dan Muhammad Abdul Wahab (dalam bidang social keagamaan), yang secara kebetulan kedua tokoh tersebut mempunyai kontak dengan pemikiran barat. Akrabnya Jamaluddin Al-Afghani dengan Mr.Blant, dan bagaimana intimnya Muhammad bin Abdul Wahab dengan Lord Cromer, dapat kita telaah dalam buku-buku biografi kedua tokoh ini.


Perkembangan ini melahirkan dua pemikiran dalam Islam, yakni rasionalisasi Islam dan pemurnian Islam, yang keduanya memberikan dampak terhadap tradisi ke-Islaman yang sudah membudaya.


Konsep westernisasi yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran dan peradaban Barat dalam berbagai aspek. Mulai dari masalah aqidah sampai ke masalah system politik dan ekonomi serta moral. Isu yang paling banyak dikemukakan adalah membuka kembali pintu ijtihad, dan penggunaan peranan akal sebesar-besarnya. Liberalisasi ijtihad ini menjadi semakin parah, setelah menjalar kepada orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang agama, tetapi berminat untuk berijtihad, sehingga ijtihad menjadi mode tanpa standarisasi.


Menurut Dr. Muhammad M. Husein, bukannya terbatas pada konflik pemikiran antara sesama Islam, tetapi yang lebih serius adalah hilangnya kepekaan dalam umat ini untuk membedakan mana yang sebenarnya Islami dan mana yang western(pembaratan).


K.H. Hasyin Asy’ari juga meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklain mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis. Beliau menganjurkan bahwa “ kita tidak dapat mengikuti fatwa-fatwa ulama tersebut yang memaksa mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persyaratan yang cukup untuk berijtihad.’’


Intinya adalah Al-Qur’an, hadits, ijma, qias, dan maslaihul mursalah adalah langkah yang harus ditempuh sebagai upaya untuk tetap menjaga agar cara-cara beragama yang dipraktekan para ulama salafussalihin itu tetap terpelihara.

Sosiologi Agama Menjadi Sosiologi Ajah

Adriansyah


Di awal orde baru, sejak Mukti Ali menjadi Menteri Agama, telah terjadi perkembangan yang menarik tentang kajian Islam di Indonesia. Bersamaan dengan munculnya perhatian untuk memperkuat ilmu-ilmu sosial bagi kalangan-kalangan orang Indonesia. Mukti Ali mendorong agar Islam sebagai lapangan kajian empiris di galakan. Sejalan dengan itu, pada tahun 1974, IAIN Syarif Hidayatullah mengadakan seminar seminar tentang: "Agama dan Perubahan Sosial." Inilah cikal bakal munculnya gagasan jurusan sosiologi agama.


Di era Mukti Ali, seminar - seminar tentang: Agama dan Perubahan Sosial," dalam segala dimensinya memang bermunculan. Namun, diluar DEPAG dan IAIN, yang agak paralel saat itu, ialah dikembangkannya "Proyek pesantren" di LP3ES. Dawam Rahardjo, Sudjoko Prasodjo dan Gus Dur(dkk) melalui proyek ini (dengan bantuan ilmu sosial dan teologi pembaharuan), mereka berusaha memasukan ide-ide modernisasi sub-kultur tradisional pesantren.


Perjumpaan baru antara ilmu sosial dan kajian Islam di zaman Mukti Ali, merupakan desakan baru pencarian bentuk modernisasi masyarakat, daripada pencarian pemikiran modern (rasional) Islam yang juga dibuka di IAIN Ciputat dan dirintis oleh tokohnya seperti Harun Nasution dengan pengajarannya tentang mazhab Mu'tazilah yang memberikan ruang akal dalam memahami wahyu. Tradisi pemikiran ini biasa disebut Islam Liberal.


Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah seharusnya memang meminggirkan diri dari wilayah dunia pemikiran Islam sebagaimana yang ada di Fakultas Ushuludi dan Filsafat. Sosiologi agama harus memiliki karakter baru dalam keilmuan, yaitu berdasarkan investigasi dan metodologis empiris, bukan berdasarkan spekulasi - spekulasi. Dan satu-satunya tempat yang cocok adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).


Ketika saya membeli buku yang berjudul "mengenal Islam Jawa" yang merupakan disertasi Prof.Dr.Bambang Pranowo (guru besar Sosiologi Agama), dalam buku tersebut telah berhasil membantah riset dari Clifford Geerts, yang membagi Islam Jawa menjadi tiga kategori sosial (santri, priyayi dan abangan). Ini membuktikan bahwa ilmu sosial juga memiliki nilai lebih dibandingkan pemikiran Islam seperti Aqidah Filsafat dan Perbandingan Agama. Maka memang Sosiologi Agama kembali ke buaian ibu kandungnya yaiti FISIP.


Sosiologi Agama UIN dibanding Universitas lain memang masih agak terbelakang, maka dari itu, jurusan ini dalam penguasaan teori dan metodologi harus lebih komprehensif. Namun, karakter intelektual ke-Islaman jangan sampai hilang, karena kelak itu akan menjadi nilai lebih jurusan ini dinanding Sosiologi di kampus lain. Salah satu caranya untuk bangkit dari keterbelakangan adalah dengan diaktifkannya lab sosiologi, seminar-seminar tentang fenomena sosial dan keagamaan, dan lebih penting lagi praktek lapangan, karena mahasiswa ketika lulus ibarat akan memasuki rimba raya, kalau kurangnya pengalaman bisa tersesat. Mahasiswa perlu kritis untuk kemajuan jurusan sosiologi agama, dari kita untuk kita.

ISLAM DAN NEGARA

Adriansyah


Ada beberapa perbedaan pendapat tentang konsep negara dan masyarakat dalam Islam. Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Ide tentang khalifah bukan berasal dari al-Qur'an, tapi dibuat beberapa abad setelah wafatnya Nabi saw dalam bentuk kitab - kitab fiqih.


Di Makkah pada masa lampau tidak ada pemerintahan turun-temurun, juga tidak ada yang dipilih secara formal seperti PEMILU. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Seperti yang dikatakan bapak Amin Nurdin (dekan Ushuludin UIN Jakarta), bahwa ketika Rasulullah saw di Makkah tidak ada istilah ummah, yang ada hanyalah kabilah - kabilah.


Ketika Islam masuk ke Madinah, dimana masyarakatnya pluralistik, terdiri dari beragam suku, ras dan agama, semua berada menjadi disatukan dalam pimpinan Nabi saw dan itulah yang disebut dengan ummah. Nabi Muhammad saw mulai membuat konsensus di Madinah, kemudian muncullah piagam Madinah.


Nicholson seorang sejarawan ketika melihat dokumen piagam Madinah, beliau berkomentar; Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunannya. Nyatalah bahwa mempengaruhi dengan hati-hati dan bijaksana adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara terbuka independensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat.


Dengan demikian, persetujuan tersebut lebih didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan paksaan dan ini mirip dengan perkembangan politik masyarakat modern. Suatu kontrak berdasarkan kultur masyarakat itu sebagai bukti Islam sangat demokratis.


KH. Abdurahman Wahid seorang ulama yang memiliki nasionalisme tingkat tinggi, mengatakan Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, karena beberapa abad yang lalu sudah banyak kerajaan - kerajaan Islam, walaupun sekarang sudah tidak ada, kini berganti menjadi Islam kultural dan setiap daerah memilikinya. Nurcholis Majid mengatakan, negara yang Islami adalah negara menjunjung keadilan, kesetaraan, terbuka dan demokratis. Maka Cak Nur berpendapat Pancasila, bhineka tunggal ika harus tetap dipertahankan di NKRI.


Bila syari'ah seperti yang digabungkan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal sebagai hukum negara Islam, dikhawatirkan kedaulatan Tuhan akan disamakan dengan kedaulatan ulama. Politik Islam yang ideal sebagaimana yang diajarkan al-Qur'an, sangat berbeda dengan dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara - negara Islam saat ini.

OBRAL FATWA

Adriansyah


Memang harus kita akui pintu ijtihad belum tertutup, semakin berkembangnya zaman menandakan pemikiran juga harus berkembang, sebagaimana juga dengan Islam yang juga harus berkembang agar tidak menjadi stagnan.Namun, kalau saya berpatokan dengan pendapat KH.Hasyim Asy'ari agar umat muslim berhati-hati dengan orang yang mengkalim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis. Sedangkan menurut Ibn Hazm, larangan taqlid hanya ditujukan kepada mereka yang mampu melakukan ijtihad, meskipun kemampuan itu pada satu bidang. Beliau lalu menyatakan bahwa "bagi siapa saja yang tidak yang tidak mampu melakukan ijtihad mutlaq harus mengikuti salah satu dari empat mazhab."


Fakta yang terjadi sekarang ini, banyak bermunculan umat muslim yang hanya bermodalkan jenggot,jubah dan jidat hitam mulai melakukan ijtihad walau sebenarnya tidak memiliki syarat-syarat yang cukup dalam keilmuan. Misalnya saja seorang ustad lulusan Afghanistan yang merasa tidak setuju dengan tindakan pelaku bom di JW Marriot dan Ritz Carlton, namun ia mengatakan itu adalah ijtihad si pelaku dan harus kita hargai, padahal ijtihad itu kalau benar dua pahala dan kalau salah satu pahala,berarti pemboman tersebut dapat satu pahala. Naudzubillah...


Muncul juga fatwa yang mengharamkan pluralisme, fatwa tersebut dimata masyarakat muslim yang awam sudah menjadi sumber hukum yang sudah tidak bisa di kritisi dan diganggu gugat, maka wajar ketika saya berbicara pluralisme saya langsung dibilang sesat, antek-antek JIL dan lain sebagainya. Wajar kalau Gus Dur pernah mengatakan kalau MUI sebenarnya bukan orang yang pintar, mereka terlalu tertutup dengan sesuatu yang datang dari luar. Lalu, munculnya fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah dalam seminar di masjid Istiqlal yang dihadiri MUI, FUI dan Dewan Dakwah, menyulut umat muslim yang awam namun pakaiannya laksana ulama mengobrak - abrik markas Ahmadiyah, bahkan ada salah satu ustad yang mengklaim sebagai pembela Islam mengeluarkan fatwa bahwa halal membunuh Ahmadiyah dimanapun mereka berada. Kalau begitu apa bedanya dengan fatwa teroris Osama bin Laden untuk membunuh Amerika dimanapun mereka berada.


Mungkin kalau saya merujuk pada sabda Nabi saw: "Janganlah menangis selama urusan agama masih ditangan para ahlinya, namun menangislah jika agama berada ditangan orang yang tidak berkompeten."

ISLAM TETAP ISLAM

Adriansyah


Ketika saya duduk di depan laptop sambil membuka facebook saya sangat senang mendengarkan lagu seroja dari ustad Akil hayy asal Malaysia, beliau awalnya adalah penyanyi rock yang kemudian beralih ke nasyid melayu, tembang lagu yang di selipkan pesan dakwah lebih mengena di hati saya dibanding lagu qasidah dan marawis yang selama ini selalu dianggap representasi dari musik Islam.


Banyaknya kesenian Islam Indonesia yang perlahan tergeser dengan kesenian dari timur tengah. Misalnya saja, tari seudati dari Aceh, lagu lir ilir dan gundul-gundul pacul yang di ajarkan Sunan Kalijaga, mulai tergeser oleh Qasidah dan gambus. Atap masjid model tumpang yang masih kalah dengan banyaknya yang menggunakan kubah laksana taj mahal.


Dakwah model sayid Qutb dan Hasan al-Banna lebih populer, sehingga dakwah model walisongo dianggap dakwah yang belum selesai. Bahkan munculnya anak-anak muda yang berani melakukan aksi bom bunuh diri karena terinspirasi oleh para pejuang dari palestine dan Afghanistan. Bahkan Prof.Dr. Quraish Shihab sebagai ahli tafsir dibilang Islam liberal, mungkin karena beliau tidak mencantumkan gelar habib di namanya, padahal nasab nya bersambung ke Rasulullah SAW.


Ketika seorang ustad mengatakan kalau anak muda sekarang malu menjadi Islam, mereka malu memakai gamis ketika jalan ke mall, memakai celana cingkrang di atas mata kaki. Pendapat ini menurut saya bukan menjadikan Islam sebagai keyakinan, melainkan hanya penampakan luar. Bagaimana dengan Sunan Kalijaga yang memakai blangkon?


Indonesia punya banyak bahasa, namun kini orang Islam terasa kurang soleh kalau tidak agak di Arabisasi. Misalnya selamat ulang tahun berubah menjadi selamat milad, saya menjadi ente, langgar atau surau menjadi mushollah, anda menjadi antum dan lain sebagainya. Wajar saja kyai pribumi kalah pamor dengan mubaligh hasil naturalisasi.


Sekedar mengutip perkataan Gus Dur, “Islam tetap Islam, dimana saja berada. Akan tetapi tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya. Salahkah kalau Islam di pribumikan, sebagai manifestasi kehidupan?”




ISLAM INDONESIA:SUNNI DAN SYIAH KULTURAL

Adriansyah


Setelah penyesatan pada Ahmadiyah dan juga pelarangan terhadap ajarannya, kini saatnya bentuk penyesatan dan pengusiran ditujukan pada jemaah Syiah di Sampang Madura. Jemaah tersebut bernama IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait). Warga masyarakat di sana senantiasa diberikan pemahaman bahwa Syiah itu adalah ajaran sesat dan harus dihilangkan.


Ini pernah terjadi ketika dulu Gus Dur dianggap pelindung dan ikut merebaknya aliran Syiah di Indonesia, dan bahkan ketua umum PBNU Said Aqil Siradj juga pernah di sebut-sebut sebagai agen Syiah yang menyusup ke NU. Sedangkan di kalangan warga Muhammadiyah juga ada tokoh Jallaludin Rakhmat (Kang Jallal) juga dikatakan sebagai agen Syiah, namun beliau sendiri mengakuinya. Namun, apakah benar tuduhan yang di tujukan kepada Gus Dur dan Said Aqil Siradj sebagai kyai Syiah?


Sebelum membantah tuduhan tersebut kita harus pahami perbedaan yang sangat tajam antara Syiah dan Sunni. Orang Syiah meyakini bahwa percaya kepada para Imam merupakan rukun iman, karena bagi mereka para imam bersifat ma’sum, sedangkan Gus Dur dan Said Aqil tidak meyakini. Bagi Syiah, Rasulullah SAW pernah memberi wasiat bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW, dan Gus Dur dan Said Aqil juga tidak sepakat. Jadi saya yakin kalau warga Syiah juga tidak mau mengakui Gus Dur dan Said Aqil sebagai Syiah.


Dalam tradisi kebudayaan Islam di Indonesia tidak lepas dari budaya Islam Syiah. Misalnya, budaya satu suro ada sajian bubur merah dan bubur putih, tradisi ini adalah tradisi Syiah, karena bubur merah adalah simbol dari darah Imam Husein yang tumpah di padang Karballa. Upacara Tabuik di Pariaman Sumatera Barat juga memperingati tragedi Karballa. Bahkan tradisi maulid Nabi SAW sebenarnya bukan diadakan pertama kali oleh Shalahudin al-Ayubi yang berpaham sunni, tapi sebenarnya tradisi tersebut sudah ada sejak masa Khalifah al-Muiz Lidinillah dan beliau adalah Syiah.


Dan sekarang juga sedang marak majelis-majelis shalawat, seperti majelis Nurul Mustofa dan majelis Rasulullah SAW yang berpaham sunni. Pada saat mallahul Qiyam semua jemaah berdiri, ini juga tradisi Iran yang berpaham Syiah, sedangkan kalau paham Asyariah tidak berdiri. Karena berdirinya sudah merupakan sifat kultus. Mencium tangan para habaib sampai bolak-balik itu sebagai bentuk penghormatan pada ahlul bait, itu juga Syiah.


Begitu juga di Madura, ada seorang tokoh ulama kharismatik bernama KH. Kholil Bangkalan, beliau di yakini sebagai seorang waliyullah, dan setiap tahun santrinya mengdakan tradisi haul,itu juga tradisi Syiah yang dilakukan kepada para Imam. Jadi, menurut saya Islam Indonesia adalah sunni dan syiah kultural.


Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu pendekar demokrasi gigih membela hak keberagamaan mereka. Sayangnya beliau telah wafat, dan kini penggantinya belum ada yang berani tampil membela kaum minoritas. Sunni bukan mazhab resmi Negara, jadi sikap taqiyah (sembunyi-sembunyi) dari warga Syiah seharusnya tidak perlu di lakukan di Indonesia. Berbeda-beda tapi tetap satu.