Adriansyah
Di awal orde baru, sejak Mukti Ali menjadi Menteri Agama, telah terjadi perkembangan yang menarik tentang kajian Islam di Indonesia. Bersamaan dengan munculnya perhatian untuk memperkuat ilmu-ilmu sosial bagi kalangan-kalangan orang Indonesia. Mukti Ali mendorong agar Islam sebagai lapangan kajian empiris di galakan. Sejalan dengan itu, pada tahun 1974, IAIN Syarif Hidayatullah mengadakan seminar seminar tentang: "Agama dan Perubahan Sosial." Inilah cikal bakal munculnya gagasan jurusan sosiologi agama.
Di era Mukti Ali, seminar - seminar tentang: Agama dan Perubahan Sosial," dalam segala dimensinya memang bermunculan. Namun, diluar DEPAG dan IAIN, yang agak paralel saat itu, ialah dikembangkannya "Proyek pesantren" di LP3ES. Dawam Rahardjo, Sudjoko Prasodjo dan Gus Dur(dkk) melalui proyek ini (dengan bantuan ilmu sosial dan teologi pembaharuan), mereka berusaha memasukan ide-ide modernisasi sub-kultur tradisional pesantren.
Perjumpaan baru antara ilmu sosial dan kajian Islam di zaman Mukti Ali, merupakan desakan baru pencarian bentuk modernisasi masyarakat, daripada pencarian pemikiran modern (rasional) Islam yang juga dibuka di IAIN Ciputat dan dirintis oleh tokohnya seperti Harun Nasution dengan pengajarannya tentang mazhab Mu'tazilah yang memberikan ruang akal dalam memahami wahyu. Tradisi pemikiran ini biasa disebut Islam Liberal.
Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah seharusnya memang meminggirkan diri dari wilayah dunia pemikiran Islam sebagaimana yang ada di Fakultas Ushuludi dan Filsafat. Sosiologi agama harus memiliki karakter baru dalam keilmuan, yaitu berdasarkan investigasi dan metodologis empiris, bukan berdasarkan spekulasi - spekulasi. Dan satu-satunya tempat yang cocok adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Ketika saya membeli buku yang berjudul "mengenal Islam Jawa" yang merupakan disertasi Prof.Dr.Bambang Pranowo (guru besar Sosiologi Agama), dalam buku tersebut telah berhasil membantah riset dari Clifford Geerts, yang membagi Islam Jawa menjadi tiga kategori sosial (santri, priyayi dan abangan). Ini membuktikan bahwa ilmu sosial juga memiliki nilai lebih dibandingkan pemikiran Islam seperti Aqidah Filsafat dan Perbandingan Agama. Maka memang Sosiologi Agama kembali ke buaian ibu kandungnya yaiti FISIP.
Sosiologi Agama UIN dibanding Universitas lain memang masih agak terbelakang, maka dari itu, jurusan ini dalam penguasaan teori dan metodologi harus lebih komprehensif. Namun, karakter intelektual ke-Islaman jangan sampai hilang, karena kelak itu akan menjadi nilai lebih jurusan ini dinanding Sosiologi di kampus lain. Salah satu caranya untuk bangkit dari keterbelakangan adalah dengan diaktifkannya lab sosiologi, seminar-seminar tentang fenomena sosial dan keagamaan, dan lebih penting lagi praktek lapangan, karena mahasiswa ketika lulus ibarat akan memasuki rimba raya, kalau kurangnya pengalaman bisa tersesat. Mahasiswa perlu kritis untuk kemajuan jurusan sosiologi agama, dari kita untuk kita.
0 komentar:
Posting Komentar