THORIQOH DAN PEMUDA

Rabu, 15 Januari 2014
Humanisme selama ini selalu di maknai sebagai segala sesuatu  yang sekuler, dimana manusia untuk mengeksplorasi potensi dirinya maka manusia harus melawan otoritas Tuhan. Berkembangnya filsafat humanisme dimana munculnya spirit mitologi Yunani yang ingin melawan otoritas dewa-dewa Yunani yang ingin menekan potensi-potensi yang ada di diri manusia. Cerita mitologi Yunani inilah yang menyebabkan munculnya tradisi humanisme.

Kita percaya bahwa manusia sejak lahir memiliki ilmu bawaan atau talenta, atau kita yakin bahwa sejak lahir kita sudah pernah mengenal Tuhan, dan ini menandakan manusia bukan seperti papan tulis yang kosong saat di lahirkan sebagaimana  teorinya John Locke. Maka pendidikan seharusnya  bukan hanya mengajarkan manusia untuk memahami, tapi pendidikan harus juga bisa membuat manusia  mampu  mengenal dirinya dan mengetahui potensi dirinya yang diberikan Tuhan sejak dirinya dilahirkan ke muka bumi. Pendidikan harus memenuhi kebutuhan otak dan spiritualitas, karena ilmu pengetahuan tertinggi adalah ilmu yang berasal langsung dari Allah swt atau yang kita kenal dengan ma’rifatullah.

Pendidikan haruslah mendidik manusia untuk mengingat kesempurnaan diri yang sebenarnya sudah dimiliki sejak ia dilahirkan, namun karena lingkungan yang kotor membuat kita masuk juga  ke lumpur kekotoran, maka jasmani manusia harus menjadi wadah ilmu dan wadah ma’rifat, harus ada kesinambungan antara intelektual, spiritual dan estetika yang indah. Maka ketika ingin bebicara  agama yang begitu luhur dan ilmu yang begitu agung haruslah memnggunakan bahasa dan perilaku yang mengandung estetika, bukan dengan cara kekasaran dan kemarahan, karena jika itu dilakukan pendidikan hanya menemukan sebuah format hidup tapi tidak akan menemukan substansi kehidupan.

Adab adalah ketika segala sesuatu yang terletak pada tempatnya yang benar, sebagaimana al-Qur’an yang merupakan rangkaian firman Ilahi yang ditempatkan pada tempat yang tepat sehingga menjadi sebuah estetika, maka bisa dikatakan  bahwa teks bahasa bisa membentuk sesuatu yang sangat indah, sehingga ketika kita mampu menempatkan diri kita pada tempat yang tepat maka kita telah memperindah diri kita sendiri, dan saat itu diri kita menjadi karya seni dengan tata krama  dan perilaku yang indah. Al-Qur’an adalah ayat-ayat yang memunculkan keindahan, ketika seseorang memiliki perilaku  sebagaimana yang di al-Qur’an, maka seseorang tersebut menjadi keindahan dan petunjuk bagi manusia-manusia yang lain.

Ilmu pengetahuan dan agama tidak lepas dari keindahan, jadi kita harus senantiasa memperindah diri, baik dalam perilaku maupun spiritual, sehingga kita akan menjadi tanda-tanda dan ayat-ayat untuk menuju Allah swt Yang Maha Indah. Pada saat kita sudah membiasakan diri kita dengan keindahan, maka keindahan akan terinternalisasi kedalam diri kita, sehingga apabila ada segala sesuatu yang tidak indah menghampir, kita akan bisa langsung melakukan perlindungan diri, dan apabila bila kita mempertajam cita rasa kita untuk senantiasa mendekatkan pada keindahan maka semakin lama diri kita akan bisa menjadi sangat dekat dengan Yang Maha Indah. Maka wajar kalau Imam al-Ghazali mengajarkan agar anak-anak kecil diajarkan tentang syair-syair sastra yang memiliki keindahan, agar mereka memiliki cita rasa yang tajam.

Keindahan dengan segala kompleksitasnya akan bisa terlihat nyata apabila kita melihatnya dengan kaca mata berlensa bening, bukan dengan kaca kaca berlensa hijau, ini maknanya apabila kita ingin mendapatkan hakikat kebenaran maka kita harus terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk menjadi jiwa-jiwa yang siap menerima kompleksitas.

Masyarakat perkotaan seringkali menjadi orang yang tidak bisa fokus karena kompleksitas, kita seringkali melihat segala macam yang  berbeda-beda, sebagaimana mall yang memiliki toko-toko dengan banyak etalase, sehingga kita sulit fokus menentukan barang apa yang sebenarnya  kita ingin beli, kompleksitas tersebut menyebabkan diri ini tidak bisa fokus. Dan satu-satunya cara agar kita melatih kefokusan adalah dengan berzikir dan riyadlah. Maka apabila kita memiliki cita-cita dan impian  kita harus punya tingkat kefokusan yang sangat tinggi untuk menggapainya, dan seringkali banyak yang ingin mematahkan kefokusan kita dengan meremehkan dan memaksa kita beralih dari kefokusan tersebut, dan salah satu caranya untuk melatih kefokusan adalah dengan zikir, karena dengan berzikir akan membuat hati menjadi tenang dan tidak mudah cemas akan tantangan dan ketakutan pada masa depan.

Maka apabila kita ingin meningkatkan potensi diri bukan dengan melawan otoritas Tuhan sebagaimana tradisi humanisme yang berkembang di Eropa, tapi haruslah dengan semakin seringnya melakukan zikir dan riyadlah, sehingga kita memiliki keyakinan, ketenangan dan kefokusan dalam meningkatkan potensi diri.

KONTRADIKSI ABAD PENCERAHAN

Dialektika adalah segala sesuatu yang mengandung kontradiksi dalam sebuah relasi, misalnya saja dalam kehidupan ada kelahiran dan ada juga kematian sebagai kontradiksinya. Dalam dialektika pencerahan, tokoh seperti Hokreimer dan Adorno memcoba memahami rasionalitas saintifik atau yang dikatakan Max Weber sebagai rasionalitas intstrumental yang dianggap sebagai bentuk kebebasan berpikir, rasionalitas ini  menyingkirkan aspek rohani dan mistik. Sehingga segala sesuatu yang tidak sependapat dengan rasionalitas modern maka akan dianggap kuno dan dogmatis.

Tradisi pencerahan pada ujungnya menjadi sesuatu yang dogmatis pula, dimana segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tradisi pencerahan akan dianggap kolot dan terbelakang. Misalnya Karl marx dengan komunismenya termasuk kedalam tradisi pencerahan, yang mengajarkan humanisme  dengan menghapuskan pertentangan kelas. Namun, Stalin sebagai rezim Komunis membangun banyak camp konsentrasi, dimana camp itu membunuh jutaan orang yang tidak mau sependapat dengan ideologi sosialisme. Juga bagaimana Hitler membangun camp konsentrasi untuk membunuh orang-orang Yahudi, camp itu dibangun untuk membunuh banyak orang dengan efisien, ini menandakan Nazi di Jerman yang pada saat itu modern justru tidak memanusiakan orang Yahudi, mereka terlihat begitu rasis.

Hokraimer dan Adorno memahami ekonomi kapitalisme  mempunyai paham yang harus menyeragamkan  semua orang, mulai dari cara bicara, cara makan, dan cara berpenampilan. Bangsa Jerman yang homogen dengan suku Aria, menganggap bangsa Yahudi sebagai the others, maka harus disingkirkan atau di musnahkan. Dan sistem kontrol modern juga merambah ke Indonesia, misalnya adanya kampung Arab, kampung China, dan kampung Pribumi asli. Ini menandandakan ada pengotak-kotakan manusia akibat modernisasi, sehingga sesuatu yang dianggap tidak satu gen maka dianggap the others.

Kemajuan sistem teknologi dan administrasi membuat seseorang makin pintar dan efisien, namun karena teknologi dan administrasi membuat masyarakat semakin terkontrol, mereka menjadi kehilangan kebabasan ditengah modernisasi yang selalu menjanjikan kebebasan. Misalnya ada standarisasi sekolah, akreditasi sekolah. Sistem teknologi E-KTP membuat sidik jari dan kornea mata masyarakat menjadi milik Negara. Seseorang pergi haji harus menggunakan passport dan visa, sehingga seseorang pergi haji bisa menunggu 2-3 tahun. Dengan adanya administrasi dengan berupa standarisasi membuat seseorang kehilangan otonomi manusia dan justru semakin merumitkan, otonomi moral Immanuel kant yang membedakan mana moral baik dan moral buruk dihilangkan, sehingga di era modernitas ini kita sulit membedakan mana yang baik mana yang benar. Padahal, dalam praktek asketisme segala bentuk standarisasi dihilangkan, misalnya tarekat itu tujuannya cuma satu, tapi prakteknya berbeda-beda disetiap komunitas tarekat.

Yang paling dirugikan dalam dialektika pencerahan adalah subjektivitas manusia, pada saat kaum pencerahan ingin membebaskan manusia dari dogma-dogma agama di eropa justru mereka menjadi dogma itu sendiri. Dimana rasionalitas modern menjadi dogma tersendiri, mereka menghancurkan apa saja yang dianggap mitos dan nilai-nilai, minimal dikatakan kolot, bodoh, terbelakang, norak, katro dll. Para kaum pencerahan memaksakan semua masyarakat berada dalam satu garis rasionalisme mereka.

Benjamin Franklin begitu memuja sistem kapitalisme, yaitu dengan memunculkan jargon Time is money, sehingga nilai-nilai spiritual dan ibadah tersingkirkan. Wajar saja para pendakwah dan seniman menjadi pemburu uang, sehingga nilai spiritual dan estetika hilang akibat sistem kapitalisme yang menjadikan uang sebagai segalanya.

Adorno dan Hokraimer melihat fasisme, rasisme, kapitalisme, dan birokratisasi bukanlah tradisi yang muncul secara tiba-tiba, tapi itu semua adalah hasil logis dari modernisasi. Misalnya tanah kuburan leluhur Pangeran Diponegoro yang diserobot penjajah Belanda untuk ditanami rempah-rempah sebagai penumpukan capital VOC, membuat pemberontakan, tujuannya adalah untuk mempertahankan sistem nilai yang ingin dihancurkan oleh Belanda.

Goete yang menganggungkan tradisi pencerahan, karena dianggap akan menghasilkan kebebasan berpikir dan kritisme, justru pohon OAK yang merupakan tanaman kesukaan Goete ditanam disebelah camp konsentrasi tempat pembantaian ribuan sampai jutaan orang. Sehingga Adorno menganggap yang dimaksud kemajuan adalah sesuatu yang berasal dari busur panah menjadi bom atom.

Kemajuan-kemajuan akibat tradisi pencerahan, secara tidak langsung menghancurkan tradisi-tradisi lama, sistem-sistem nilai tradisional dibuat hanya menjadi tumpukan di museum-museum. Malapetaka-malapetaka sejarah itu harusnya kita rapikan kembali dan kita carikan solusi, hanya saja justru kita dipaksa untuk terus maju, dengan janji perubahan dan pembaharuan yang membuat kita terlena.