DISKUSI "GUS DUR DAN ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF"

Sabtu, 14 Januari 2012
Oleh: Adriansyah

Pada ranah ilmu sosial, gagasan Islam sebagai etika sosial di dasari oleh pemikiran ilmu sosial transformative. Yakni paradigm ilmu sosial yang mengritisi “rezim ilmu sosial” yang mapan. Dalam era pemerintahan Orde baru, Gus Dur mengkritik beberapa teori sosial seperti modernisasi, developmentalisme, fungsionalisme structural, dan fungsionalisme antropologi. Keberatan utama Gus Dur atas teori-teori tersebut adalah peminggiran tradisi oleh modernisasi, arah pembangunan yang mengacu ada percepatan ekonomi, tapi tidak dengan pemerataan ekonomi, serta stabilitas sosial yang menempatkan agama sebagai perekat integratif yang mempertahankan stabilitas politik. Gus Dur menawarkan ilmu sosial untuk tranformasi sosial.

Demikianlah gagasan pokok ilmu sosial yang dimiliki Gus Dur saat diskusi di KORIDOR 168, pada Kamis, 12 Januari 2012,pukul 15.00-17.00 WIB,dengan narasumber Syaiful Arif (Penulis buku best seller Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif). Diskusi ini di hadiri 23 orang, dari perwakilan-perwakilan PMII KOMFISIP, PMII KOMFAST, AMANTA BAND, FORTUNA BAND,IKATAN MAHASISWA SASAK,KOMUNITAS JABIRI, Himpunan Alumni Tebu Ireng,Lamyuzard,dan Wasekum PMII Cabang Ciputat. Ini adalah diskusi bulanan KORIDOR 168.

Arif dalam ceramah awalnya menjelaskan tentang definisi ilmu sosial. Dalam pemikiran Malinowski bahwasanya agama totem, dimana dalam diri hewan terdapat ruh yang bersifat sakral, sehingga hewan tersebut menjadi di sembah, dan inilah yang menjadikan para pemuja totemisme di satukan (integrative) oleh sakralitas dari hewan tersebut. inilah yang di kritik oleh Gus Dur, bagi Gus Dur agama bukan sebagai perekat masyarakat, tapi agama juga bisa berfungsi sebagai tranformasi sosial, dan agama bisa sebagai pendukung perubahan sosial.

Gus Dur mengkritik teori fungsionalisme strukural dari Talcot Parson yang digunakan oleh pemerintahan Orde baru, dimana agama dijadikan sebagai fungsi lantensi untuk perekat (integratif) masyarakat demi stabilitas politik orde baru. Dan Gus Dur juga mengkritik teori evolusionisme, terutama dari pemikiran Prof.Dr. Koenjtaraningat yang mengatakan masyarakat yang paling maju adalah masyrarakat moderen, sehingga tradisi-tradisi masyarakat dianggap tidak modern, kritikan tersebut diarahkan karena Koentjraningrat menghakimi tradisi dengan pemahaman modernisasi ala barat. Pemikiran Harun Nasution juga tidak lepas dari kritikan, dimana Harun Nasution menghakimi Islam ortodok dan kitab kuning tidak rasional, dan Gus Dur mengatakan kitab-kitab kuning di pesantren sangat rasional, dan Gus Dur menunjukkannya dengan tulisannya tentang pemikiran rasional ulama ortodok Imam al-Ghazali. Gus Dur bukanlah tokoh intelektual kampus,tapi Gus Dur adalah tokoh intelektual muslim pergerakan. Gus Dur adalah pemikir Islam juga pemikir sosial.

Dalam pemikiran gerakan Islam berwawasan struktural, yakni gerakan yang sadar akan ketimpangan struktural, atau masyarakat yang dimiskinkan oleh struktur yang menindas. Gagasan gerakan Islam berwawasan struktural ini terinspirasi dari teologi pembebasan Amerika Latin, namun Gus Dur berhasil melampaui teologi pembebasan yang terjebak dalam ideologisasi.

NU masa kepemimpinan Gus Dur menggerakan pengembangan masyarakat melalui pesantren, untuk menciptakan pembangunan masyarakat bawah sebagai penyeimbang pembangunan Negara yang tidak merata. Gus Dur juga menolak program padat karya yang dicanangkan pemerintahan orde baru di pesantren pada masa mentri agama Mukti Ali, dikarenakan program tersebut juga dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sosialisasi program pembangunan. Pemerintahan orde baru menolak Islam politik, tapi mendukung Islam ritual, maka dari itu Orde baru mencanagkan program amal bakti Pancasila dengan pembangunan mesjid-mesjid, hal ini juga di kritik oleh Gus Dur, baginya pelarangan Islam politik bisa menyebabkan timbulnya fundamentalisme agama, dan umat Islam hanya berkutat pada perjuangan simbolik Islam. Dan saat itulah Gus Dur melakukan perjuangan substantif Islam, yang terpatri pada tiga nilai; keadilan, persamaan dan demokrasi.

Gus Dur juga mengkritik pemerintahan Orde baru dengan istilah Demokrasi seolah-olah, dimana pemerintah terjebak oleh institusionalisme demokrasi. Demokrasi hanya dimaknai lewat pemilihan umum, dan demokrasi dimaknai Gus Dur saat itu hanya sebagai bentuk bukan praktek. Dalam situasi inilah Gus Dur menggerakan demokratisasi melalui pergerakan masyarakat sipil dengan pembentukan FORDEM (Forum Demokrasi). Pemerintah Orde baru menolak FORDEM,karena bagi pemerintah Negara Indonesia sudah demokrasi,arena sudah ada pemilu, ada lembaga trias politica (Eksekutif,legislatif dan Yudikatif)jadi tidak butuh FORDEM. Bagi Gus Dur,legitimasi negara terletak di kesejahteraan rakyat.

FILSAFAT POLITIK GUS DUR
Gus Dur dalam berpolitik bisa dilihat ketika beliau menjadi presiden RI, banyak terobosan-terobosan yang di lakukan. Diantaranya;pembubaran Departemen penerangan yang dijadikan alat melanggengkan kekuasaan seakan-akan pemerintah tanpa cacat, Bakorstanas yang memiliki kekuatan luas untuk kewenangan luas untuk menindas,penghapusan dwifungsi ABRI yang tadinya sebagai keamanan dan fraksi di parlemen, mencabut TAP MPRS No XXV/1966 soal pembubaran partai komunis Indonesia dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme..Gus Dur juga sebagai pengagas pembentukan Mahkamah Konstitusi,sehigga rakyat bisa mengajukan banding terhadap konstitusi yang besifat tidak adil dan menindas. menghapus Litsus (penelitian khusus) yg suka menakuti pegawai negeri yang kritis. Gus Dur menolak penyatuan kebudayaan dan negara, karena Negara berdasarkan konstitusi, sedangkan kebudayaan adalah bersifat kebebasan manusiawi, namun Departemen kebudayaan belum sempat di bubarkan Gus Dur sudah lengser.

Dalam pemikiran politik saat di FORDEM, Gus Dur sangat anti Negara,beliau mengatakan hak berpolitik bukan hanya milik parpol,tapi juga masyarakat sipil,namun saat menjadi pemimpin PKB,Gus Dur justru berpikiran demokrasi perwakilan,diamana parpol sebagai satu-satunya kendaraan politik, ini dikarenakan Gus Dur sangat taat pada konstitusi Negara, diamana UUD mengatur calon presiden dan anggota DPR harus dari parpol. Sebagaimana Gus Dur membela Ahmadiyah dikarenakan ketaatan pada konsitusi Negara yang memberi kebebasan berkeyakinan pada setiap warga negaranya.