MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA

Sabtu, 12 November 2011
Adriansyah


Jika engkau mencari guru,

pilihlah manusia sejati,

yang baik martabatnya, yang tahu hukum,

yang menjalankan ibadah dan teguh menjalankan pantangan (wara’),

syukur jika engkau mendapat seorang pertapa,

yang tidak lagi terikat duniawi, tidak memikirkan pemberian orang,

itulah yang pantas engkau jadikan guru, hendaknya ini engkau ketahui (Paku Buwono VI http://www.pesantrenbudaya.com/?menu=beranda)



Rasa ingin tau adalah kebutuhan mendasar manusia, maka sistem pendidikan merupakan sistem kebudayaan, namun kalau sistem pendidikan tidak bisa mengangkat bagsa kita dari keterbelakangan maka krisis pendidikan secara sah menjadi krisis kebudayaan. Bagaimana mungkin pendidikan di negara ini bisa mengangkat masyarakat dari keterbelakangan, toh hanya orang kaya yang bisa pintar, banyak sekolah yang rusak, pesantren Salafi yang tidak terurus, padahal sejarah membuktikan kalau pesantren yang menanamkan semangat nasionalisme dan perjuangan kultural dalam melawan bangsa Kolonial, justru setelah merdeka malahan pesantren yang tergilas oleh neo kolonialisme.


Pemerintah mengatakan kalau anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN,anggaran APBN untuk 2011 adalah Rp.1200 triliun,kalau 20 % berarti Rp.240 triliun. Tapi, kenapa masih banyak guru yang memukul anak muridnya sebagai pelampiasan terlilit masalh ekonomi keluarganya? Dan banyak siswa yang hilang rasa hormat kepada guru-gurunya, karena menganggap guru-gurunya tidak lebih dari seperti lintah darat yang terus menghisap kekayaan ayah dan bundanya? Pak Agus Sunyoto mengatakan,bangsa ini terlalu memberhalakan sekolah,seakan-akan kalau tidak sekolah nasib akan menjadi buruk. Padahal, coba kita lihat artis seperti Tukul Arwana,Olga Syaputra, dan Raffi Ahmad yang cuma lulusan SMA gajinya lebih besar dari para profesor, dan ini memandakan kreatifitas sangat penting, bahkan kalau kita lihat Amerika ketika krisis di tahun 2008, mereka bisa bangkit karena industri kreatifitas kerajinan masyarakat,padahal Indonesia jauh lebih kaya industri kreatif,tidak bisa maju karena di halangi kreatifitasnya oleh pemerintahnya yang sedang asik dengan pasar bebas untuk menuju deindustrialisasi.



Coba kita lihat mobil di jalan dan motor yang semakin bikin macet, semuanya produk import, padahal banyak sarjana-sarjana negeri ini yang sanggup memproduksinya, tapi selalu di halangi pemerintahnya.Acara televisi juga sudah membawa kita untuk mengikuti misi kapitalisme, film-film dan sinetron yang beradegan pacaran di mall-mall membuat mall sebagai salah satu jargon modernisasi, sehingga pasar-pasar tradisional harus tergusur oleh mall-mall,bahkan daerah jalur hijau di Jakarta juga sudah jadi mall.



Bukan hanya dalam bidang IPTEK kita di setting oleh hantu globalisasi, tapi iman dan moral kita pun juga di setting. IPTEK kita di setting agar bisa menguntungkan pihak asing. Iman kita di setting agar menjadi rasional dengan menghindari mitos, padahal modernisasi juga mitos, misalnya saja fasilitas yang sudah lengkap tapi rakyat masih miskin dan tertindas,misi perdamaian tapi dengan perang, kalau zaman primitif dulu penyihir melakukan tipuan mata, kini modernisasi memberikan ruang pada kapitalisme melakukan tipuan dengan iklan-iklan televisi yang menyihir masyarakat. Apalagi dalam bidang moral, adegan ciuman gaya Titanic, seks bebas gaya American Pie, merupakan tanda masyarakat telah moderen dan gaul abis.



Yang terpenting, pendidikan selain harus membuat siswa pintar juga harus kreatif, pedidikan juga harus memberikan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, akhlak mulia, kecerdasan spiritual dan nalar kritis. Banyak yang paham teknologi tapi tidak bisa mengaji, banyak yang pintar mengaji tapi tidak paham teknologi, kita jangan membenci modernisasi tapi kita harus kritis pada modernisasi.