TUHAN KITA SATU KITA YANG TIDAK SAMA

Kamis, 05 November 2015
Oleh
Adriansyah
(Marketing Rasulullah SAW)

Tafsir Al-Qur’an merupakan penciptaan makna terhadap teks Al-Qur’an menurut penafsir, beda penafsir akan memunculkan beda penafsiran. Karena tidak adanya tafsiran Al-Qur’an yang pasti dari Rasulullah SAW terhadap maksud Allah SWT  maka penafsiran Al-Qur’an akan terus ada. Seringkali karena penafsiran yang berbeda dapat menyebabkan adanya saling menyesatkan antara umat Muslim, dan faktor utamanya adalah perbedaan ideologi dan mazhab.
Apabila suatu golongan Muslim menganggap  golongan Muslim lain salah, maka yang terjadi adalah saling menghakimi satu sama lain, dan itupun juga akan menjadi sumber konflik. Namun, apabila suatu golongan Muslim menganggap  golongan Muslim lainnya bersifat sejajar, maka yang terjadi adalah dialog dan diskusi. Karena sejatinya Islam itu lebih luas dari seseorang, maka tidak seharusnya seorang Muslim merasa dirinya paling benar lalu menghakimi dan merendahkan seorang Muslim lainnya yang berbeda dengannya.
Akhir-akhir ini sering  terjadi konflik antara sesam Muslim, misalnya saja seperti konflik di Sampang Madura yang akhirnya membuat warga Syiah terusir dari kampung halamannya. Lalu juga ramai dimana wali kota Bogor melarang perayaan Asyura yang dilaksanakan warga Syiah, padahal UUD Republik Indonesia memberi kebebasan warganya beribadah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, artinya walaupun Wali Kota Bogor tidak sependapat dengan Syiah namun haruslah membuat kebijakan yang sesuai konstitusi Negara ini. Apalagi ada ormas  yang ingin menuntut pemerintah untuk menutup Dubes Iran karena merupakan Negara mayoritas Syiah. Perlu juga diketahui, peristiwa Karbala bukan hanya untuk Syiah, tapi juga untuk kaum Sunni, karena pada peristiwa tersebut terjadi  pembunuhan sadis terhadap  Sayyidina Husein (cucu Rasulullah SAW) akibat menentang kezaliman, maka sewajarnya siapapun Muslim akan terenyuh dengan peristiwa pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Dalam pencarian titik temu antara Sunni dan Syiah seringkali terkendala oleh beberapa faktor. Pertama, seringnya warga Syiah rofidlah yang mencaci maki sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah, Thalah dan Zubair. Begitu juga Syiah rofidlah seringkali mencaci maki istri Nabi SAW yaitu Aisyah. Kedua, Syiah rofidlah dalam ritual Asyura melakukan aksi melukai diri dengan pedang atau cambuk, dan ritual ini dianggap kaum  Sunni sebagai ritual bid’ah. Ketiga, konsep Imamah Syiah membuat Sunni dan Syiah berbeda dalam rukun iman dan rukun Islam. Maka kalau meminjam teori Lewis Coser, konflik Sunni Syiah adalah konflik yang bersifat non material, bukan lagi karena politik atau ekonomi, tapi sudah sampai ke konflik atas dasar aqidah, dengan perbedaan tersebut dan ditambah seringkali terjadinya konflik antara Sunni dan Syiah menyebabkan identitas internal kelompok  menjadi semakin kuat, dan keduanya semakin sulit untuk dipertemukan.
Yang terpenting saat ini adalah mencoba sejajarkan antara Sunni dan Syiah sebagai sesama Muslim, sama-sama beriman kepada Allah SWT, sama-sama beriman kepada Nabi Muhammad  SAW, dan sama-sama beriman kepada Al-Qur’an. Setelah kesejajaran dipertemukan, maka akan mudah terjadi dialog antara keduanya, dan dengan mudah mencarikan resolusi konflik. Salah satu cara mendapatkan resolusi konflik antara Sunni dan Syiah adalah dengan mencari musuh bersama yang sebenarnya. Musuh yang pertama adalah kelompok Sunni yang takfiri dan kelompok Syiah yang takfiri, musuh yang kedua adalah sistem kapitalisme  global dan neo imperialisme yang menyerang Negara-negara Muslim. Yang paling terpenting kelompok Syiah berhenti mencaci maki sahabat dan istri Nabi Muhammad  SAW dan Sunni berhenti mengatakan kalau Syiah adalah golongan di luar Islam.
Dengan semakin keluasan pandangan kaum Muslimin akan membuat suatu saat muncul kesadaran bahwa Islam sejatinya hanya satu, faktor politik dan perbedaan penafsiran terhadap teks suci menjadi penyebab perpecahan. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hassan Hanafi, tauhid sebaiknya bukan hanya dipahami secara teori, tapi tauhid harus dimasukan kedalam ranah praktis, atau tauhid sebagai “kata kerja.” Karena kalau tauhid dimasukan kedalam ranah praktis  maka Islam akan kembali pada fungsinya yaitu sebagai agama yang universal, dan tauhid akan menghilangkan perpecahan dan pengotak-ngotakan sesama Muslim. Konflik ideologi dan mazhab akan berubah menjadi aksi tolong menolong dalam kebaikan, pembelaan pada kaum miskin tertindas, dan mewujudkan keadilan sosial.



0 komentar:

Posting Komentar