Adriansyah
Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang otoritas politiknya dipegang oleh kelompok elit kecil masyarakat, baik kelompok konglomerat, keluarga bangsawan, atau militer. Misalnya saja rezim Stalin yang dimana hanya Partai Komunis yang mampu memegang birokrasi pemerintahan, sedangkan kelompok diluar itu akan disingkirkan atau dibunuh.
Indonesia
menganut sistem demokrasi dengan tujuan meruntuhkan feodalisme, dimana masyakarat Indonesia yang awalnya menghamba
pada kelompok bangsawan,berubah menjadi sistem politik yang memberi kesempatan
pada seluruh warga negara untuk mendapatkan hak politiknya, baik menjadi yang
dipilih atau yang memilih. Namun, setelah Indonesia menjadi Negara demokrasi,
tetap saja mental feodalistik masih ada di masyarakat, dimana masyarakat melakukan
penghambaan pada pemilik modal.
Indonesia
memiliki Undang-Undang Pemilu dimana Partai Politik menjadi lembaga penentu
calon pemimpin bangsa, baik pemimpin kepala daerah, legislatif, dan pemimpin
pemerintah pusat. Calon Presiden harus
diusung oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, sehingga muncullah
irasionalitas politik yang membuat seseorang berpasangan dalam pemilu atau
pilkada bukan atas dasar persamaan visi
dan misi, tapi karena transaksi antar Partai Politik.
Indonesia
menganut sistem demokrasi perwakilan, dimana seorang politisi yang menjadi
wakil rakyat memperjuangkan aspirasi rakyatnya, mereka mengajak dialog
rakyatnya dan membawa hasil dialog untuk diperjuangkan di parlemen. Begitu juga
dengan Presiden, seluruh aspirasi masyarakat harus diperjuangkan, tidak tebang
pilih dalam penegakkan hukum, dan tidak boleh mengakomodir kepentingan hanya
segelintir orang atau kelompok.
Masuknya cukong
politik karena sistem yang kita pilih, dimana seorang politisi untuk meraih
banyak suara memerlukan promosi besar-besaran, dan promosi besar-besaran juga
memerlukan uang yang besar pula. Kader Partai Politik yang mengikuti jenjang
kaderisasi seringkali tersingkir dengan seseorang yang punya
banyak uang atau punya bandar. Bahkan, aktivis idealis yang sering turun ke jalan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat
agak kesulitan untuk menjadi seorang kepala daerah atau Presiden, sehingga
kalangan pengusaha yang lebih mendominasi pilkada dan pilpres. Para cukong politik tersebut yang nantinya bisa menentukan Undang-Undang,
menentukan kebijakan dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Feodalistik
dalam perpolitikan di Indonesia juga terlihat dari pertimbangan trah keluarga.
Misalnya, ayahnya menjadi Bupati selama 2 periode, lalu anaknya yang baru lulus
kuliah diusung untuk menjadi Bupati selanjutnya. Ada juga daerah dimana seorang
bangsawan jadi Gubernur, lalu adik iparnya jadi walikota, adiknya jadi Bupati,
dan terakhir anaknya jadi wakil Gubernur. Tren istilah Gus (sebutan untuk anak
kyai) juga mulai bermunculan, dimana masyarakat yang berlatar belakang santri
harus disuguhkan dengan politik citra menjual istilah Gus untuk meraih suara
dari kalangan santri. Politik feodal seperti ini sebenarnya sah-sah saja,
asalkan seseorang yang diusung memang benar-benar berkompeten. Ambil contoh Gus
Dur, beliau seorang anak kyai dan mantan mentri, tapi beliau juga memiliki
kapasitas secara intelektual dan pengalaman organisasi untuk bisa diusung
menjadi Presiden. Tapi kini justru kita temukan anak mantan Gubernur yang
menjadi Gubernur tertangkap tangan melakukan suap, atau anak mantan Bupati yang
menjadi Bupati terbukti melakukan skandal dengan foto porno dengan perempuan
yang bukan istrinya.
Partai Politik
yang menjadi penentu seseorang menjadi legislatif, kepala daerah, dan Presiden,
kini terlihat kebobokrannya. Misalnya, mereka membuka pendaftaran caleg secara
terbuka, semua caleg yang mendaftar dimintai KTA (Kartu Tanda Anggota), kalau
tidak punya akan dibuatkan, dan ini jelas tujuannya adalah untuk mengejar
target pemenuhan syarat verifikasi faktual Partai Politik. Seseorang menjadi
anggota legislatif melalui Parpol tidak melalui kaderisasi secara masif, tapi
cukup punya KTA, KTP, KK, dan Ijazah terakhir. Kembali lagi, yang menang adalah
yang punya uang banyak. Target utama semua Partai hanyalah terpenuhinya
persyaratan verifikasi faktual dan banyaknya kursi, wajar banyak anggota
legislatif yang tidak mengetahui tugasnya apa, bagi mereka yang penting D3
(Duduk, Diam, Duit).
Ketua Umum
Partai Politik yang seharusnya memberikan kesempatan kader terbaiknya menjadi
calon Presiden, justru malah Ketua Umum tersebut kepedan mengajukan dirinya
untuk menjadi Cawapres atau Capres. Sistem konvensi seperti di Amerika Serikat
yang dimana para kader Partai bertarung gagasan untuk maju menjadi calon
Presiden tidak terjadi di Indonesia. Justru ketum Partai mengajukan dirinya
atau menyatakan dukungan sepihak pada seorang tokoh agar maju lagi sebagai
Presiden. Jadi, apa bedanya Partai Politik dengan sebuah yayasan? Partai
Politik menjadi sebuah lembaga oligarki, dimana
kebijakan ditentukan oleh elit Partai,dan kader Partai cuma
planga-plongo mendukung apa kata ketum,
bahkan mereka berdalil “maha benar ketum dengan segala kebijakannya.” Lalu
ketum juga punya dalil, apabila cukong perintah, maka ketua umum “aku dengar
lalu aku lakukan.”
Demokratisasi tujuannya
adalah kesejahteraan rakyat, tapi para elit yang bobrok menjadikan demokrasi
sebagai sebuah kendaraan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Demokrasi kini
menjadi sebuah pasar, dimana jabatan bisa diobral dan Undang-Undang bisa
dipesan. Fakta inilah yang harus kita lawan, jangan pasrah pada fakta, perlu
keberanian dan kerja kolektif. Ingat, reformasi 1998 itu menjatuhkan Pak Harto,
dan itu adalah bukti bahwa fakta Pak
Harto kuat bisa dikalahkan. Merobohkan oligarki dan feodalistik politik pasti
bisa dilakukan, yang penting terus melawan dan tidak berhenti melawan.