ISLAM INDONESIA

Sabtu, 16 Januari 2010
Oleh: Adriansyah

Islam di Indonesia dalam catatan sejarah berdakwah dengan berdagang dan ilmu mistik (tasawuf). Bagi para pedagang siapa saja teman, baik yang pake jilbab atau yang cuma pake kemben, sedangkan dalam tasawuf mengajarkan kebersihan hati, sehingga semua wajah terlihat tulus tentunya kalau Islam masuk dengan tujuan politik maka wajah Islam jadi seperti topeng yang suka berubah-berubah.

Clifford Geerts membandingkan antara Islam di Maroko dan di tanah Jawa. Ciri khas di Maroko adalah hierarki seorang ksatria yang dianggap mempunyai darah keturunan Rasulullah saw, sedangkan Islam tanah Jawa berbudaya sinkretik dan terbagi menjadi tiga kategori yaitu santri, abangan dan priyayi. Namun, dalam tesis Prof. Bambang Pranowo yang berjudul Mengenal Islam Jawa beliau menghapuskan tiga kategori yang diberikan Clifford Geerts. Dengan faktanya, Sultan Hamengku Buwono x seorang priyayi namun juga pergi haji layaknya kaum santri, Waljinah seorang abangan juga pergi haji, para santri dipesantren juga banyak yang melakukan puasa mutih dan yang merupakan tradisi Jawa, dan para BTI (organisasi petani bentukan PKI) mereka seorang abangan tapi juga rajin membaca al-Qur'an dan suaranya juga merdu, Bung Hatta yang nasionalis sekuler namun dikatakan oleh KH. Agus Salim sangat religius kesehariannya. Maka, sebenarnya Islam bukan sekedar pengamalan syari'at secara hati-hati seperti yang dikatakan kaum modernis, tapi Islam juga dengan penghayatan hakekat.

Islam dikatakan sebagai rahmatan lil alamin, maka seharusnya Islam bisa diterima dimanapun, letak geografis manapun dan segala macam kultur yang ada dimuka bumi ini, dikatakan juga shalih li kulli zamani wa makan (relevan dengan semua zaman), atau singkatnya Islam tidak harus budaya Arab. Indonesia walaupun bukan sebagai negara Islam, tapi Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, Indonesia adalah negara yang dalam sejarah bisa mempersatukan para ulama dan para sosialis sekuler, contohnya saja KH. Hasyim Asy'ari dengan massa basis pesantren mau bekerjasama dengan Bung Tomo seorang sosialis sekuler untuk melawan Belanda di Surabaya.

Seiring pergantian waktu, identitas Islam Indonesia mulai terpinggirkan oleh paham-paham import yang cenderung berpikiran ekstrim dan ekslusif. Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang disepakati semua golongan pada saat itu demi terwujudnya kedaulatan NKRI, justru oleh paham import ini disebut kufur dan thagut. Apalagi paham radikal yang semakin merebak, semakin mudahnya memberikan vonis kafir. Umat Islam seakan-akan sangat haus darah, ketika melihat kemungkaran langsung ingin main pukul saja, tanpa ingin mengunakan bahasa yang lemah lembut dan hikmah. Kalau biasanya kalimat takbir digunakan untuk azan, sholat, dan bacaan wirid, lama-lama beralih fungsi untuk diterikan saat demonstrasi dan waktu chaos. Yang menyerang teriak takbir dan yang diserang istighfar.

Para umat Islam Indonesia harus mau kembali merajut identitas Islam Indonesia, tentunya dengan metode dakwah para wali songo yang toleran, lemah lembut dan mengandung hikmah. Para ulama harus intropeksi diri, cobalah lihat kondisi umat secara kritis, jangan hanya sibuk melakukan kajian diruang ber AC untuk mengeluarkan fatwa halal atau haram. Misalnya saja mengatakan bom bunuh diri yang dilakukan teroris Indonesia haram, tapi teroris itu malahan sukses kaderisasi, sedangkan ulama hanya kembali diskusi tanpa memberi solusi. Apalagi paham pluralisme yang sudah ada sejak lama dan terbukti sukses menjalin dialog dan kerukunan umat beragama, justru di vonis haram tanpa adanya metode riset ilmiah.

0 komentar:

Posting Komentar