NU DAN POLA DERADIKALISASI AGAMA

Jumat, 13 November 2015
Adriansyah

I.Pernyataan Masalah

Ini adalah tema skripsi saya waktu kuliah di FISIP UIN Jakarta, hasil kroscek saya dibeberapa literature dan penelitian terdahulu saya tidak menemukan skripsi yang mengangkat tema deradikalisasi. Jadi bisa dikatakan kalau saya adalah mahasiswa sosiologi di Indonesia yang pertama kali mengangkat tema deradikalisasi sebagai skripsi. Deradikalisasi di NU menjadi kasus yang saya teliti dan LTMNU Kota Bekasi sebagai studi kasusnya. Adapun definisi deradikalisasi adalah suatu hal yang dapat memotivasi individu untuk keluar dari organisasi teroris, deradikalisasi yang dibangun hingga saat ini telah berfokus terutama pada faktor ideologi (Institute For Homeland Security Solution 2010:2). Upaya ini menggunakan cara-cara yang bersifat kultural dan edukatif. Salah satu upayanya adalah memberikan paham ajaran beragama yang toleran dan moderat.

Di Indonesia, terorisme menjadi salah satu wacana yang akrab ditelinga, seperti tragedi bom Bali, bom Bursa Efek Jakarta, bom JW. Marriot dan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan pada tanggal 9 September 2004 (Wasono 2008:1).  Para pelaku rata-rata adalah anggota Jemaat Islamiyah (JI), seperti  Imam Samudra, Ali Gufron Alias Mukhlas, dan Amrozy yang terlibat dalam bom Bali I, dan mereka divonis hukuman mati (Crisis Group, 2011: 23).

Dalam tragedi peledakan bom di Kedutaan Besar Filipina pada tahun 2000 sebagaimana dijelaskan dalam buku Negara Islam Indonesia (NII) sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia bahwa pelakunya adalah Suranto alias Umair alias Abdul Goni. Ia adalah veteran dari JI (Lazuardi Birru, 2012). Jadi jaringan-jaringan terorisme di Indonesia rata-rata adalah kader-kader organisasi JI.

Sejak awal tahun 1980-an terjadi perkembangan dakwah yang radikal di Indonesia, mulai muncul ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jamaah Islamiyah (JI) (Idahram  2001:39). Gerakan ini dikatakan sebagai gerakan Islam radikal karena ingin merubah tatanan masyarakat di Indonesia secara fundamental seperti penerapan syariat Islam, pendirian negara Islam, dan pembentukan khilafah Islamiyah.

Sebagian pihak yang berupaya menghapuskan ideologi Pancasila agar tidak menjadi ideologi bangsa.Ini terlihat dari provokasi dari tokoh Jamaat Islamiyah (JI) seperti Abdullah Sungkar, yang mengatakan Pancasila sebagai ideologi kufur. Lalu Abu Bakar Ba’asyir mengatakan bahwa pancasila adalah rekayasa pihak Kristen/ Katolik (Hendropriyono  2009:363).

Bersama reformasi, kelompok-kelompok Islam ini menemukan momentumnya untuk melakukan pergerakan politik secara kultural (ormas Islam), dan secara struktural (Partai Islam).Dua gerakan ini memiliki peluang yang luas, ketika rezim yang berkuasa memberikan peluang kebebasan setelah lama dipinggirkan secara politik oleh rezim Orde Baru (Rahmat 2007:132).

Aksi teror tersebut dipahami oleh para pelakunya sebagai jihad fi sabilillah melawan Amerika. Mereka akan mendapatkan pahala surga, target utama teror adalah segala aset Amerika serikat dan yang dianggap sebagai musuh Islam.

Menurut seorang pakar seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), gerakan sempalan dikalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencernakan dampak modernisasi yang semakin lama semakin deras, tetapi banyak ketimpangan. Modernisasi yang menimbulkan dampak-dampak buruk, termasuk ketidakmampuan memberikan jawaban tepat atas masalah-masalah yang ditimbulkannya sendiri. Bagi Gus Dur,  anak-anak muda yang sangat kecewa dengan semakin buruknya kenyataan dunia modern ini, lalu membuang modernitas mereka, membenahi diri dengan tuntas dalam kehidupan beragama mereka, dan setelah itu dengan keras menghardik orang lain yang seagama tetapi berbeda pemahaman dengan ajaran agama mereka (Wahid 1999:48-49).

Sedangkan pandangan Syafii Ma’arif  bahwa radikalisme dalam bentuk teror seringkali berpijak pada kebencian dan fanatisme. Terorisme menempuh jalan pintas berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri) yang dilakukan dalam suasana rentan dan tertekan. Bahwa berbeda dengan Islam radikal, Islam moderat  menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada  ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum tertindas ditunjukan dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan perubahan secara perlahan. Penggunaan dan pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat dan Islam radikal ( Chrisnandi 2008:294). Maka, yang layak untuk melakukan deradikalisasi agama adalah ormas Islam yang moderat.

Upaya Negara dalam menangani radikalisme agama dalam bentuk kasus terorisme antara lain dengan membentuk pasukan Datasemen Khusus 88 (DENSUS 88). Pasukan tersebut menanggulangi terorisme  menggunakan cara represif seperti sekedar dengan cara penangkapan dan tembak ditempat. Namun, cara-cara represif tersebut justru hanya berhasil membuat gerakan terorisme berkurang secara aksinya.Sedangkanm secara pemikiran dan ideologi, radikalisme masih terus berkembang di tengah-tengah masyarakat.

II.Penelitian Internasional Tentang Deradikalisasi

Terkait kajian tentang penangangan gerakan radikalisme agama, penulis menemukan beberapa penelitian sejenis, antara lain:

NGO Crisis Group, melakukan penelitian yang berjudul “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.”Dijelaskan metode yang digunakan dalam melakukan deradikalisasi diantaranya adalah program-program dakwah. Untuk mencegah kelompok-kelompok yang mudah  terkena ideologi ekstrim dan radikal, melalui  “safari dakwah” oleh ustadz-ustadz ternama yang menentang kekerasan atas nama agama, melakukan pemberdayaan ekonomi pada tersangka terorisme yang telah bebas, menghadirkan alumni-alumni Afghanistan untuk memimpin diskusi-diskusi agama di lapas, mendekati pesantren-pesantren Jamaah Islamiyah. Dalam penelitian ini, dikatakan sukses dalam deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan adalah ketika jumlah yang keluar dari gerakan radikal lebih banyak dari yang masuk (Jones 2011:14).

Dalam penelitian The Rand Corporation, ada dua metode deradikalisasi di Indonesia yang digunakan pihak kepolisian.Pertama, melalui introgasi budaya, yaitu kepolisian melakukan pendekatan kepada tahanan teroris lalu melakukan introgasi untuk mengetahui informasi mengenai jaringan-jaringan terorisme di Indonesia. Kedua, polisi memanfaatkan peran mantan gerilyawan untuk berdialog dengan para narapidana kasus terorisme, salah satu  mantan gerilyawannya adalah Nasir Abbas (Angel Rabasa 2010:106-110).

Sedangkan dalam penelitian  Institute for Homeland Security Solution, deradikalisasi melakukan proses berfokus terutama pada faktor ideologi, berusaha untuk deradikalisasi peserta program melalui perdebatan tentang isi doktrin kelompok teroris dan interpretasi agama. Program Saudi memiliki cakupan yang  lebih luas yang menumbuhkan reintegrasi peserta dengan keluarga mereka dan memberikan beberapa bantuan ekonomi dalam periode pasca-program. Lalu juga ada ditemukan langkah untuk memotivasi keluar dari organisasi teroris yang dikonseptualisasikan sebagai fungsi  untuk mendorong atau menarik individu menjauh dari kelompok, dan metode dialog dengan Imam moderat (Institute for Homeland Security Solution 2010:1-3).

III.Pola Deradikalisasi Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama

Dalam wawancara penulis dengan Imdadudin Rahmat (Wasekjen PBNU) selaku koordinator program Deradikalisasi Nahdlatul Ulama, beliau mengatakan:

NU melakukan pelatihan-pelatihan diberbagai tempat, yang memang khusus tentang deradikalisasi, pesertanya antara lain para pengurus cabang,para kyai-kyai muda, para da’i, dan para khatib Jum’at. Jadi, mereka yang tiap hari mengkomunikasikan ilmu agama kepada umat, dan melalui merekalah nanti pesan-pesan tentang Islam damai dapat di sosialisasikan dan di transfusikan ke masyarakat.

Pelatihan tentang deradikalisasi dilakukan NU sebagai bekal bagi para da’i-da’i dan kiai muda agar bisa memiliki wawasan tentang ide-ide deradikalisasi, setelah mereka memiliki wawasan yang mumpuni maka mereka diharapkan bisa menyebar kemasyarakata dan memberikan kesadaran bersama bahwasanya  penyebaran paham radikalisme agama dan terorisme haruslah di cegah.

Pelatihan tentang deradikalisasi yang dilakukan NU sebagai bekal bagi para da’i-da’i dan kiai muda agar bisa memiliki wawasan tentang ide-ide deradikalisasi, setelah mereka memiliki wawasan yang mumpuni maka mereka diharapkan bisa menyebar kemasyarakatan dan memberikan kesadaran bersama kepada masyarakat, bahwasanya  penyebaran paham radikalisme agama dan terorisme haruslah di cegah.

NU Kota Bekasi memiliki para tokoh ulama kharismatik yang berfungsi sebagai ideolog, yang mengkader, memobilisasi dan mendistribusikanpara da’i-dai sebagai upaya untuk mewujudkan misi deradikalisasi, ulama tersebut memberikankesadaran kolektif kepada masyarakat NU untuk melakukan deradikalisasi, yaitu dengan melakukan counter ideology terhadap gerakan Islam radikal dan mensosialisasikan gagasan-gagasan tentang deradikalisasi. Karena, NU dalam gerakannya memiliki konsep tentang dakwah Islam yang rahmatan lil alamin, bukan dakwah yang radikal.NU juga memiliki konsep tentang hubungan Negara dan agama, bukan Negara yang sekuler dan juga bukan konsep khilafah Islamiyah yang merupakan perjuangan kalangan Islam radikal.

Dijelaskan oleh Nanang Ponari selaku sekretaris LTMNU (Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama) Kota Bekasi:

Rujukan kita tetap secara skala nasional ke pak As’ad Ali  selaku wakil Ketum PBNU, beliau kan mantan BIN (Badan Intelijen Negara) , juga Prof. Dr. Said Aqil Siradj, untuk di Bekasi ini rujukan kita KH.Mi’ran Syamsuri selaku dewan syuriah kami, dan KH.Zamakhsyari Abdul Majid M.A. (Ketua Umum PCNU Kota Bekasi).

LTMNU dalam menghadapi banyaknya gerakan-gerakan Islam radikal yang masuk lewat jalur dakwah di masjid-masjid, mencoba memberikan suatu bentuk perlawanan yang bersifat counter ideology melalui jalur dakwah. Biasanya gerakan-gerakan radikalisme yang menyebarkan paham ekstrim seperti terorisme, pendirian Negara Islam, mewujudkan Khilafah Islamiyah, atau pemeberlakuan syariat Islam di Indonesia, dakwah radikal tersebut dilakukan melalui dakwah di masjid-masjid, khutbah Jumat, tabligh akbar,  majelis ta’lim, radio, majalah dll. Dakwah-dakwah yang bersifat provokatif dari ormas radikal memunculkan kekecewaan dan keresahan dari sebagian masyarakat, sehingga muncul suatu gerakan deradikalisasi dari LTMNU (Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama) Bekasi yang merupakan sayap organisasi dari Nahdlatul Ulama Kota Bekasi.Tujuannya agar memunculkan para pendakwah yang moderat, mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman, berwawasan lokal juga global, dan siap menyebar ke masyarakat untuk mensosialisasikan gagasan deradikalisasi.

Dalam wawancara dengan wawancara dengan Lukman Hakim, SPd,I (Ketua umum LTMNU Kota Bekasi):
Kami melakukan kuliah untuk para muballigh, bagaimana mereka bisa memahami dakwah Islam yang rahmatan lil alamin, bagaimana cara mereka melakukan retorika dalam berdakwah, dan mereka juga diberi pemahaman Islam secara komperhensif, yaitu pemahaman Islam yang tidak sekedar literlek,tapi juga memahami konteksnya,jadi dakwakwahnya bersifat kontekstual, dan diharapkan setelah menyelesaikan kuliah ini mereka bisa menyebar untuk melakukan dakwah di daerah mereka masing-masing, seperti menjadi khatib jumat atau mengisi ceramah di majelis ta’lim.

Nanang Ponari juga mengatakan kalau sesuai dengan visi misi NU yang ingin menjadikan Islam rahmatan lil alamin. Maka, NU mengkader da’i-da’i  muda, mereka menciptakan dakwah yang sifatnya persuasif, kondusif, tidak radikal, karena sesuatu yang dilakukan dengan radikal akan melahirkan radikalisasi baru, maka dakwahnya juga harus rahmatan lil alalmin.

KH.Manarul Hidayat sebagai tokoh NU dalam ceramahnya mengatakan:

Teroris yang ada saat ini itu tidak lepas dari peran Amerika, Osama bin Laden itu warga Saudi Arabia,  dan Saudi Arabia itu adalah antek-anteknya Amerika, jadi mustahil Amerika perang dengan antek-anteknya.

Ciri-ciri teroris itu perlu di catat, yaitu pertama. Mengkafirkan orang yang beda paham, hormat bendera musyrik, Presiden musyrik karena bukan Khilafah. Bagi NU, politiknya sama dengan politik Negara, maka Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika sudah final. Prinsip ulama NU, apabila Islam menjadi agama Negara maka Islam bisa hancur, karena Islam di Indonesia ada NU,Muhammadiyah,Persis, bisa perang kalau Islam dijadikan agama Negara, misalnya kalau NU pimpin Muhammadiyah bisa tidak terima, maka untuk untuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah adalah melalui bingkai Pancasila. Maka, NU, Muhammadiyah, Persis silakan beribadah dengan amaliah masing-masing dan koridor NKRI selesai.

Kedua, ciri-ciri teroris itu menganggap bom bunuh diri pahalanya surga.Ketiga, mereka mengaji secara sembunyi-sembunyi atau tertutup.Seharusnya kalau ada ciri seperti tersebut langsung di laporkan ke polisi, agar daerah kita tidak ada teroris.

NU memiliki sikap tawasuth atau tengah-tengah, yaitu tidak radikal tidak juga lembek dalam menentang amar ma’ruf nahi munkar, NU juga memiliki sikap tasamuh atau toleran, selama penganut agama Kristen, Hindu, Budha tidak mengganggu umat muslim beribadah maka akan kami jadikan kawan, kita saling menghargai. Tapi, kalau mereka mengganggu atau memerangi maka NU akan menindak tegas. Keputusan-keputusan ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, Al-Wasliyah, dan Al-Irsyad sepakat perdebatan masalah furu’iyah di stop, kami sepakat untuk terus memperkuat ukhuwah Islamiyah.

NU dilahirkan untuk menjawab semua masalah yang di zaman Rasulullah SAW tidak ada menjadi ada, misalnya masalah speaker dianggap bid’ah dan lain-lain.NU menganggap bid’ad itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dalalah, NU membolehkan bid’ah hasanah seperti maulid Nabi SAW, Rajaban, ziarah kubur, 7 harian.Sedangkan bid’ah dalalah itu kita tolak, seperti muncul Nabi baru seperti Ahmad Mushodiq, aliran Inkar Sunnah, Lia Eden, Ahmadiyah dan banyak lagi.

NU lahir juga sebagai protes Saudi Arabia karena ingin menerapkan mazhab tunggal Wahabi, kini Wahabi bukan hanya ada di Saudi Arabia tapi sudah dakwah kerumah-rumah, semua amaliah warisan walisongo dihujat bid’ah dan haram, dan itu tugas ulama NU untuk membina warganya dari paham-paham seperti itu.
IV.KESMPULAN

LTMNU Kota Bekasi dalam menjadikan deradikalisasi sebagai sebuah kesadaran kolektif adalah dengan melalui seminar dan pelatihan muballigh dengan tema besar Islam rahmatan lil alamin. Para da’i yang dikader akan berdakwah dengan cara persuasif, tidak mengajarkan radikalisme, dan memberi pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat untuk memahami Islam tidak sekedar literlek tapi juga kontekstual. Dan para tokoh-tokoh NU terutama pemimpin organisasi, dalam setiap pertemuan-pertemuan organisasi selalu menjelaskan bahwa NU berpegang pada Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, dan menjelaskan bahwa pegangan tersebut sebagai pegangan kolektif bagi warga NU diseluruh Indonesia. Maka, NU menolak terhadap paham-paham Islam radikal yang ingin menghapuskan ideologi kebangsaan yang dipegang oleh NU. Para da’i muda yang direkrut dan dikader oleh LTMNU Kota Bekasi memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa Islam tidak mengajarkan radikalisme dan terorisme, Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama, dan memunculkan respon dari masyarakat untuk bersama-sama menolak dan mencegah penyebaran paham radikalisme agama dan terorisme. Kemudian para da’i menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa radikalisme dan terorisme bukanlah ajaran dalam Islam. Hanya saja, tidak semua da’i yang mengikuti pelatihan sudah siap diterjunkan ke masyarakat, hanya beberapa da’i yang secara kapasitas siap untuk berdakwah baik di masyarakat atau radio.














TUHAN KITA SATU KITA YANG TIDAK SAMA

Kamis, 05 November 2015
Oleh
Adriansyah
(Marketing Rasulullah SAW)

Tafsir Al-Qur’an merupakan penciptaan makna terhadap teks Al-Qur’an menurut penafsir, beda penafsir akan memunculkan beda penafsiran. Karena tidak adanya tafsiran Al-Qur’an yang pasti dari Rasulullah SAW terhadap maksud Allah SWT  maka penafsiran Al-Qur’an akan terus ada. Seringkali karena penafsiran yang berbeda dapat menyebabkan adanya saling menyesatkan antara umat Muslim, dan faktor utamanya adalah perbedaan ideologi dan mazhab.
Apabila suatu golongan Muslim menganggap  golongan Muslim lain salah, maka yang terjadi adalah saling menghakimi satu sama lain, dan itupun juga akan menjadi sumber konflik. Namun, apabila suatu golongan Muslim menganggap  golongan Muslim lainnya bersifat sejajar, maka yang terjadi adalah dialog dan diskusi. Karena sejatinya Islam itu lebih luas dari seseorang, maka tidak seharusnya seorang Muslim merasa dirinya paling benar lalu menghakimi dan merendahkan seorang Muslim lainnya yang berbeda dengannya.
Akhir-akhir ini sering  terjadi konflik antara sesam Muslim, misalnya saja seperti konflik di Sampang Madura yang akhirnya membuat warga Syiah terusir dari kampung halamannya. Lalu juga ramai dimana wali kota Bogor melarang perayaan Asyura yang dilaksanakan warga Syiah, padahal UUD Republik Indonesia memberi kebebasan warganya beribadah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, artinya walaupun Wali Kota Bogor tidak sependapat dengan Syiah namun haruslah membuat kebijakan yang sesuai konstitusi Negara ini. Apalagi ada ormas  yang ingin menuntut pemerintah untuk menutup Dubes Iran karena merupakan Negara mayoritas Syiah. Perlu juga diketahui, peristiwa Karbala bukan hanya untuk Syiah, tapi juga untuk kaum Sunni, karena pada peristiwa tersebut terjadi  pembunuhan sadis terhadap  Sayyidina Husein (cucu Rasulullah SAW) akibat menentang kezaliman, maka sewajarnya siapapun Muslim akan terenyuh dengan peristiwa pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Dalam pencarian titik temu antara Sunni dan Syiah seringkali terkendala oleh beberapa faktor. Pertama, seringnya warga Syiah rofidlah yang mencaci maki sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah, Thalah dan Zubair. Begitu juga Syiah rofidlah seringkali mencaci maki istri Nabi SAW yaitu Aisyah. Kedua, Syiah rofidlah dalam ritual Asyura melakukan aksi melukai diri dengan pedang atau cambuk, dan ritual ini dianggap kaum  Sunni sebagai ritual bid’ah. Ketiga, konsep Imamah Syiah membuat Sunni dan Syiah berbeda dalam rukun iman dan rukun Islam. Maka kalau meminjam teori Lewis Coser, konflik Sunni Syiah adalah konflik yang bersifat non material, bukan lagi karena politik atau ekonomi, tapi sudah sampai ke konflik atas dasar aqidah, dengan perbedaan tersebut dan ditambah seringkali terjadinya konflik antara Sunni dan Syiah menyebabkan identitas internal kelompok  menjadi semakin kuat, dan keduanya semakin sulit untuk dipertemukan.
Yang terpenting saat ini adalah mencoba sejajarkan antara Sunni dan Syiah sebagai sesama Muslim, sama-sama beriman kepada Allah SWT, sama-sama beriman kepada Nabi Muhammad  SAW, dan sama-sama beriman kepada Al-Qur’an. Setelah kesejajaran dipertemukan, maka akan mudah terjadi dialog antara keduanya, dan dengan mudah mencarikan resolusi konflik. Salah satu cara mendapatkan resolusi konflik antara Sunni dan Syiah adalah dengan mencari musuh bersama yang sebenarnya. Musuh yang pertama adalah kelompok Sunni yang takfiri dan kelompok Syiah yang takfiri, musuh yang kedua adalah sistem kapitalisme  global dan neo imperialisme yang menyerang Negara-negara Muslim. Yang paling terpenting kelompok Syiah berhenti mencaci maki sahabat dan istri Nabi Muhammad  SAW dan Sunni berhenti mengatakan kalau Syiah adalah golongan di luar Islam.
Dengan semakin keluasan pandangan kaum Muslimin akan membuat suatu saat muncul kesadaran bahwa Islam sejatinya hanya satu, faktor politik dan perbedaan penafsiran terhadap teks suci menjadi penyebab perpecahan. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hassan Hanafi, tauhid sebaiknya bukan hanya dipahami secara teori, tapi tauhid harus dimasukan kedalam ranah praktis, atau tauhid sebagai “kata kerja.” Karena kalau tauhid dimasukan kedalam ranah praktis  maka Islam akan kembali pada fungsinya yaitu sebagai agama yang universal, dan tauhid akan menghilangkan perpecahan dan pengotak-ngotakan sesama Muslim. Konflik ideologi dan mazhab akan berubah menjadi aksi tolong menolong dalam kebaikan, pembelaan pada kaum miskin tertindas, dan mewujudkan keadilan sosial.