Adriansyah
I.Pernyataan Masalah
Ini adalah
tema skripsi saya waktu kuliah di FISIP UIN Jakarta, hasil kroscek saya
dibeberapa literature dan penelitian terdahulu saya tidak menemukan skripsi
yang mengangkat tema deradikalisasi. Jadi bisa dikatakan kalau saya adalah
mahasiswa sosiologi di Indonesia yang pertama kali mengangkat tema
deradikalisasi sebagai skripsi. Deradikalisasi di NU menjadi kasus yang saya
teliti dan LTMNU Kota Bekasi sebagai studi kasusnya. Adapun definisi deradikalisasi adalah suatu hal yang dapat memotivasi individu untuk keluar dari organisasi teroris, deradikalisasi yang dibangun hingga saat ini telah
berfokus terutama pada faktor ideologi (Institute For Homeland Security Solution
2010:2). Upaya ini menggunakan cara-cara yang bersifat kultural dan edukatif. Salah
satu upayanya adalah memberikan paham ajaran beragama yang toleran dan moderat.
Di Indonesia, terorisme menjadi salah satu
wacana yang akrab ditelinga, seperti tragedi bom Bali, bom Bursa Efek Jakarta,
bom JW. Marriot dan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan pada
tanggal 9 September 2004 (Wasono 2008:1).
Para pelaku rata-rata adalah anggota Jemaat Islamiyah (JI), seperti Imam Samudra, Ali Gufron Alias Mukhlas, dan
Amrozy yang terlibat dalam bom Bali I, dan mereka divonis hukuman mati (Crisis
Group, 2011: 23).
Dalam tragedi peledakan bom di Kedutaan Besar
Filipina pada tahun 2000 sebagaimana dijelaskan dalam buku Negara Islam
Indonesia (NII) sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia bahwa pelakunya adalah Suranto alias Umair
alias Abdul Goni. Ia adalah veteran dari JI (Lazuardi Birru, 2012). Jadi
jaringan-jaringan terorisme di Indonesia rata-rata adalah kader-kader
organisasi JI.
Sejak awal tahun 1980-an terjadi perkembangan dakwah yang radikal di
Indonesia, mulai muncul ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti Tarbiyah
(Ikhwanul Muslimin), Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan
Jamaah Islamiyah (JI) (Idahram 2001:39).
Gerakan ini dikatakan sebagai gerakan Islam radikal karena ingin merubah
tatanan masyarakat di Indonesia secara fundamental seperti penerapan syariat
Islam, pendirian negara Islam, dan pembentukan khilafah Islamiyah.
Sebagian pihak yang berupaya menghapuskan
ideologi Pancasila agar tidak menjadi ideologi bangsa.Ini terlihat dari
provokasi dari tokoh Jamaat Islamiyah (JI) seperti Abdullah Sungkar, yang
mengatakan Pancasila sebagai ideologi kufur.
Lalu Abu Bakar Ba’asyir mengatakan bahwa pancasila adalah rekayasa pihak
Kristen/ Katolik (Hendropriyono
2009:363).
Bersama reformasi, kelompok-kelompok Islam
ini menemukan momentumnya untuk melakukan pergerakan politik secara kultural
(ormas Islam), dan secara struktural (Partai Islam).Dua gerakan ini memiliki
peluang yang luas, ketika rezim yang berkuasa memberikan peluang kebebasan
setelah lama dipinggirkan secara politik oleh rezim Orde Baru (Rahmat
2007:132).
Aksi teror tersebut dipahami oleh para
pelakunya sebagai jihad fi sabilillah melawan Amerika. Mereka akan
mendapatkan pahala surga, target utama teror adalah segala aset Amerika serikat
dan yang dianggap sebagai musuh Islam.
Menurut seorang pakar seperti Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), gerakan sempalan dikalangan kaum muslimin muncul dari
ketidakmampuan mencernakan dampak modernisasi yang semakin lama semakin deras,
tetapi banyak ketimpangan. Modernisasi yang menimbulkan
dampak-dampak buruk, termasuk ketidakmampuan memberikan jawaban tepat atas
masalah-masalah yang ditimbulkannya sendiri. Bagi Gus Dur, anak-anak muda yang sangat kecewa dengan
semakin buruknya kenyataan dunia modern ini, lalu membuang modernitas mereka,
membenahi diri dengan tuntas dalam kehidupan beragama mereka, dan setelah itu
dengan keras menghardik orang lain yang seagama tetapi berbeda pemahaman dengan
ajaran agama mereka (Wahid 1999:48-49).
Sedangkan pandangan Syafii Ma’arif bahwa radikalisme dalam bentuk teror
seringkali berpijak pada kebencian dan fanatisme. Terorisme menempuh jalan
pintas berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri) yang dilakukan
dalam suasana rentan dan tertekan. Bahwa berbeda dengan Islam radikal, Islam
moderat menawarkan wacana pembebasan
yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada
ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum tertindas
ditunjukan dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan perubahan secara perlahan.
Penggunaan dan pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat dan Islam
radikal ( Chrisnandi 2008:294). Maka, yang layak untuk melakukan deradikalisasi
agama adalah ormas Islam yang moderat.
Upaya Negara dalam menangani radikalisme
agama dalam bentuk kasus terorisme antara lain dengan membentuk pasukan
Datasemen Khusus 88 (DENSUS 88). Pasukan tersebut menanggulangi terorisme menggunakan cara represif seperti sekedar
dengan cara penangkapan dan tembak ditempat. Namun, cara-cara represif tersebut
justru hanya berhasil membuat gerakan terorisme berkurang secara
aksinya.Sedangkanm secara pemikiran dan ideologi, radikalisme masih terus
berkembang di tengah-tengah masyarakat.
II.Penelitian Internasional
Tentang Deradikalisasi
Terkait kajian tentang penangangan gerakan
radikalisme agama, penulis menemukan beberapa penelitian sejenis, antara lain:
NGO Crisis
Group, melakukan penelitian yang berjudul “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.”Dijelaskan
metode yang digunakan dalam melakukan deradikalisasi diantaranya adalah
program-program dakwah. Untuk mencegah kelompok-kelompok yang mudah terkena ideologi ekstrim dan radikal,
melalui “safari dakwah” oleh
ustadz-ustadz ternama yang menentang kekerasan atas nama agama, melakukan
pemberdayaan ekonomi pada tersangka terorisme yang telah bebas, menghadirkan
alumni-alumni Afghanistan untuk memimpin diskusi-diskusi agama di lapas,
mendekati pesantren-pesantren Jamaah Islamiyah. Dalam penelitian ini, dikatakan
sukses dalam deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan adalah ketika jumlah yang
keluar dari gerakan radikal lebih banyak dari yang masuk (Jones 2011:14).
Dalam penelitian The Rand Corporation, ada dua metode deradikalisasi di Indonesia
yang digunakan pihak kepolisian.Pertama, melalui introgasi budaya, yaitu
kepolisian melakukan pendekatan kepada tahanan teroris lalu melakukan introgasi
untuk mengetahui informasi mengenai jaringan-jaringan terorisme di Indonesia.
Kedua, polisi memanfaatkan peran mantan gerilyawan untuk berdialog dengan para
narapidana kasus terorisme, salah satu
mantan gerilyawannya adalah Nasir Abbas (Angel Rabasa 2010:106-110).
Sedangkan dalam penelitian Institute
for Homeland Security Solution, deradikalisasi melakukan proses berfokus terutama pada faktor ideologi, berusaha untuk deradikalisasi peserta program
melalui perdebatan tentang isi doktrin kelompok teroris dan interpretasi agama. Program Saudi memiliki cakupan yang lebih luas yang menumbuhkan reintegrasi peserta
dengan keluarga mereka dan memberikan beberapa bantuan ekonomi dalam periode
pasca-program. Lalu juga ada
ditemukan langkah untuk memotivasi keluar dari organisasi teroris yang dikonseptualisasikan
sebagai fungsi untuk mendorong atau
menarik individu menjauh dari kelompok, dan metode dialog dengan Imam moderat (Institute for Homeland Security
Solution 2010:1-3).
III.Pola Deradikalisasi Lembaga
Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama
Dalam wawancara penulis dengan Imdadudin
Rahmat (Wasekjen PBNU) selaku koordinator program Deradikalisasi Nahdlatul
Ulama, beliau mengatakan:
NU melakukan
pelatihan-pelatihan diberbagai tempat, yang memang khusus tentang
deradikalisasi, pesertanya antara lain para pengurus cabang,para kyai-kyai
muda, para da’i, dan para khatib Jum’at. Jadi, mereka yang tiap hari
mengkomunikasikan ilmu agama kepada umat, dan melalui merekalah nanti
pesan-pesan tentang Islam damai dapat di sosialisasikan dan di transfusikan ke
masyarakat.
Pelatihan tentang deradikalisasi dilakukan NU
sebagai bekal bagi para da’i-da’i dan kiai muda agar bisa memiliki wawasan
tentang ide-ide deradikalisasi, setelah mereka memiliki wawasan yang mumpuni maka
mereka diharapkan bisa menyebar kemasyarakata dan memberikan kesadaran bersama bahwasanya penyebaran paham radikalisme agama dan
terorisme haruslah di cegah.
Pelatihan tentang deradikalisasi yang
dilakukan NU sebagai bekal bagi para da’i-da’i dan kiai muda agar bisa memiliki
wawasan tentang ide-ide deradikalisasi, setelah mereka memiliki wawasan yang
mumpuni maka mereka diharapkan bisa menyebar kemasyarakatan dan memberikan
kesadaran bersama kepada masyarakat, bahwasanya
penyebaran paham radikalisme agama dan terorisme haruslah di cegah.
NU Kota Bekasi memiliki para tokoh ulama kharismatik
yang berfungsi sebagai ideolog, yang
mengkader, memobilisasi dan mendistribusikanpara da’i-dai sebagai upaya untuk
mewujudkan misi deradikalisasi, ulama tersebut memberikankesadaran kolektif
kepada masyarakat NU untuk melakukan deradikalisasi, yaitu dengan melakukan counter ideology terhadap gerakan Islam
radikal dan mensosialisasikan gagasan-gagasan tentang deradikalisasi. Karena,
NU dalam gerakannya memiliki konsep tentang dakwah Islam yang rahmatan lil alamin, bukan dakwah yang
radikal.NU juga memiliki konsep tentang hubungan Negara dan agama, bukan Negara
yang sekuler dan juga bukan konsep khilafah
Islamiyah yang merupakan perjuangan kalangan Islam radikal.
Dijelaskan oleh Nanang Ponari selaku
sekretaris LTMNU (Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama) Kota Bekasi:
Rujukan kita tetap secara skala
nasional ke pak As’ad Ali selaku wakil
Ketum PBNU, beliau kan mantan BIN (Badan Intelijen Negara) , juga Prof. Dr. Said Aqil
Siradj, untuk di Bekasi ini rujukan kita KH.Mi’ran Syamsuri selaku dewan
syuriah kami, dan KH.Zamakhsyari Abdul Majid M.A. (Ketua Umum PCNU Kota
Bekasi).
LTMNU dalam menghadapi banyaknya
gerakan-gerakan Islam radikal yang masuk lewat jalur dakwah di masjid-masjid,
mencoba memberikan suatu bentuk perlawanan yang bersifat counter ideology melalui jalur dakwah. Biasanya gerakan-gerakan
radikalisme yang menyebarkan paham ekstrim seperti terorisme, pendirian Negara
Islam, mewujudkan Khilafah Islamiyah,
atau pemeberlakuan syariat Islam di Indonesia, dakwah radikal tersebut dilakukan
melalui dakwah di masjid-masjid, khutbah Jumat, tabligh akbar, majelis
ta’lim, radio, majalah dll. Dakwah-dakwah yang bersifat provokatif dari ormas
radikal memunculkan kekecewaan dan keresahan dari sebagian masyarakat, sehingga
muncul suatu gerakan deradikalisasi dari LTMNU (Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul
Ulama) Bekasi yang merupakan sayap organisasi dari Nahdlatul Ulama Kota Bekasi.Tujuannya
agar memunculkan para pendakwah yang moderat, mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman,
berwawasan lokal juga global, dan siap menyebar ke masyarakat untuk mensosialisasikan
gagasan deradikalisasi.
Dalam wawancara dengan wawancara dengan
Lukman Hakim, SPd,I (Ketua umum LTMNU Kota Bekasi):
Kami melakukan
kuliah untuk para muballigh, bagaimana mereka bisa memahami dakwah Islam yang rahmatan lil alamin, bagaimana cara
mereka melakukan retorika dalam berdakwah, dan mereka juga diberi pemahaman Islam
secara komperhensif, yaitu pemahaman Islam yang tidak sekedar literlek,tapi
juga memahami konteksnya,jadi dakwakwahnya bersifat kontekstual, dan diharapkan
setelah menyelesaikan kuliah ini mereka bisa menyebar untuk melakukan dakwah di
daerah mereka masing-masing, seperti menjadi khatib jumat atau mengisi ceramah
di majelis ta’lim.
Nanang Ponari juga
mengatakan kalau sesuai dengan visi misi NU yang ingin menjadikan Islam rahmatan lil alamin. Maka, NU mengkader
da’i-da’i muda, mereka menciptakan
dakwah yang sifatnya persuasif, kondusif, tidak radikal, karena sesuatu yang
dilakukan dengan radikal akan melahirkan radikalisasi baru, maka dakwahnya juga
harus rahmatan lil alalmin.
KH.Manarul Hidayat sebagai tokoh NU dalam
ceramahnya mengatakan:
Teroris yang
ada saat ini itu tidak lepas dari peran Amerika, Osama bin Laden itu warga
Saudi Arabia, dan Saudi Arabia itu
adalah antek-anteknya Amerika, jadi mustahil Amerika perang dengan
antek-anteknya.
Ciri-ciri
teroris itu perlu di catat, yaitu pertama. Mengkafirkan orang yang beda paham,
hormat bendera musyrik, Presiden musyrik karena bukan Khilafah. Bagi NU,
politiknya sama dengan politik Negara, maka Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka
Tunggal Ika sudah final. Prinsip ulama NU, apabila Islam menjadi agama Negara
maka Islam bisa hancur, karena Islam di Indonesia ada NU,Muhammadiyah,Persis,
bisa perang kalau Islam dijadikan agama Negara, misalnya kalau NU pimpin
Muhammadiyah bisa tidak terima, maka untuk untuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah adalah melalui bingkai
Pancasila. Maka, NU, Muhammadiyah, Persis silakan beribadah dengan amaliah
masing-masing dan koridor NKRI selesai.
Kedua,
ciri-ciri teroris itu menganggap bom bunuh diri pahalanya surga.Ketiga, mereka
mengaji secara sembunyi-sembunyi atau tertutup.Seharusnya kalau ada ciri
seperti tersebut langsung di laporkan ke polisi, agar daerah kita tidak ada
teroris.
NU memiliki
sikap tawasuth atau tengah-tengah, yaitu tidak radikal tidak juga lembek dalam
menentang amar ma’ruf nahi munkar, NU juga memiliki sikap tasamuh atau toleran,
selama penganut agama Kristen, Hindu, Budha tidak mengganggu umat muslim
beribadah maka akan kami jadikan kawan, kita saling menghargai. Tapi, kalau
mereka mengganggu atau memerangi maka NU akan menindak tegas. Keputusan-keputusan
ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, Al-Wasliyah, dan Al-Irsyad
sepakat perdebatan masalah furu’iyah di stop,
kami sepakat untuk terus memperkuat ukhuwah
Islamiyah.
NU dilahirkan
untuk menjawab semua masalah yang di zaman Rasulullah SAW tidak ada menjadi
ada, misalnya masalah speaker
dianggap bid’ah dan lain-lain.NU
menganggap bid’ad itu ada dua, yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dalalah, NU
membolehkan bid’ah hasanah seperti maulid Nabi SAW, Rajaban, ziarah kubur, 7
harian.Sedangkan bid’ah dalalah itu kita tolak, seperti muncul Nabi baru
seperti Ahmad Mushodiq, aliran Inkar Sunnah, Lia Eden, Ahmadiyah dan banyak
lagi.
NU lahir juga
sebagai protes Saudi Arabia karena ingin menerapkan mazhab tunggal Wahabi, kini
Wahabi bukan hanya ada di Saudi Arabia tapi sudah dakwah kerumah-rumah, semua
amaliah warisan walisongo dihujat bid’ah dan haram, dan itu tugas ulama NU
untuk membina warganya dari paham-paham seperti itu.
IV.KESMPULAN
LTMNU Kota Bekasi dalam menjadikan
deradikalisasi sebagai sebuah kesadaran kolektif adalah dengan melalui seminar dan pelatihan muballigh dengan tema
besar Islam rahmatan lil alamin. Para
da’i yang dikader akan berdakwah dengan cara persuasif, tidak mengajarkan radikalisme,
dan memberi pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat untuk memahami Islam
tidak sekedar literlek tapi juga kontekstual. Dan para tokoh-tokoh NU terutama
pemimpin organisasi, dalam setiap pertemuan-pertemuan organisasi selalu
menjelaskan bahwa NU berpegang pada Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal
Ika, dan menjelaskan bahwa pegangan tersebut sebagai pegangan kolektif bagi
warga NU diseluruh Indonesia. Maka, NU menolak terhadap paham-paham Islam
radikal yang ingin menghapuskan ideologi kebangsaan yang dipegang oleh NU. Para
da’i muda yang direkrut dan dikader oleh LTMNU Kota Bekasi memberikan
penyadaran kepada masyarakat bahwa Islam tidak mengajarkan radikalisme dan
terorisme, Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama, dan memunculkan
respon dari masyarakat untuk bersama-sama menolak dan mencegah penyebaran paham
radikalisme agama dan terorisme. Kemudian para da’i menjelaskan kepada
masyarakat luas bahwa radikalisme dan terorisme bukanlah ajaran dalam Islam. Hanya
saja, tidak semua da’i yang mengikuti pelatihan sudah siap diterjunkan ke
masyarakat, hanya beberapa da’i yang secara kapasitas siap untuk berdakwah baik
di masyarakat atau radio.