Tidak disangsikan lagi bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. adalah orang yang tidak pernah berhenti menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Sebab, beliau berada di pihak penyeru yang benar. Seruan itu ditujukan pada khalifah, menteri, sultan, hakim dan masyarakat, baik yang sipil maupun militer. Beliau menuarakan melalui mimbar-mimbar, persaksian-persaksian dan organisasi-organisasi. Selain itu, dia adalah seorang penentang penguasa yang memerintah rakyat dengan kejam dan zalim.
Ketika Al-Muqtafi liamrillah melimpahkan kuasa pemerintahannya kepada Al-Qadhi Abil Wafa Yahya bin Said bin Yahya bin Mudhaffar, terkenal dengan predikat anak zalim, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berpidato diatas mimbar.
"Tampaknya saat ini, telah memerintah terhadap kaum muslimin seorang pemimpin yang sangat aniaya, bagaimanakah pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah, Tuhan seru sekalian alam, Dzat Rahman dan Rahim ?"
Ketika mendengar pidato itu, gemetarlah khalifah dan ia menangis, dan ia berubah menjadi orang yang menyibukan diri dengan ber uzlah.
Syekh Abdul Qadil Al-Jailani juga pernah mencela ulama-ulama gedongan yang menjadi milik para raja dan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Secara resmi mereka menjadi teman sejawat, bahkan menjadi orang yang setia menjadi corongnya.
Berkatalah beliau dihadapan para ulama, "Dimakah engkau wahai para ulama akherat, hai penghianat-penghianat ilmu dan amal! Hai para berapa dari jumlah kamu yang menjadi korban-korban kemunafikan para raja dan sultan, sampai kau tak sadar mengambil rangsangan, seperangkat dunia dan kelezatannya ?
Pada faktanya , Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak akan mengucapkan kata-kata yang tandas dan jelas, kecuali kepada orang-orang yang tidak bersih hatinya karena Allah, serta tidak bersih hatinya menjadikan selain Allah penguasa jiwa.
Dari kisah diatas, bisa juga dijadikan bagi para umat muslim yang kritis, untuk tidak takut mengungkapkan sesuatu yang haq walaupun sebenarnya itu pahit. Bagi saya para politikus busuk lebih hina dari kaum musyrikin, para koruptor layaknya orang penghianat pada masa Rasul dan halal untuk dibunuh. Bagi saya, para koruptor yang memiliki kemewahan lebih hina dari wanita yang menjadi PSK karena miskin.
Para ulama seharusnya menjadi pengawal kebijakan pemerintah, bukannya ikut-ikutan politik dan berebut kekuasaan. Para ulama seharusnya bersifat independen, dan tidak menjadi kendaraan politik para politikus. Istigosah seharusnya untuk keselamatan bangsa bukan untuk kemenangan partai di pemilu.
Ketika Al-Muqtafi liamrillah melimpahkan kuasa pemerintahannya kepada Al-Qadhi Abil Wafa Yahya bin Said bin Yahya bin Mudhaffar, terkenal dengan predikat anak zalim, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berpidato diatas mimbar.
"Tampaknya saat ini, telah memerintah terhadap kaum muslimin seorang pemimpin yang sangat aniaya, bagaimanakah pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah, Tuhan seru sekalian alam, Dzat Rahman dan Rahim ?"
Ketika mendengar pidato itu, gemetarlah khalifah dan ia menangis, dan ia berubah menjadi orang yang menyibukan diri dengan ber uzlah.
Syekh Abdul Qadil Al-Jailani juga pernah mencela ulama-ulama gedongan yang menjadi milik para raja dan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Secara resmi mereka menjadi teman sejawat, bahkan menjadi orang yang setia menjadi corongnya.
Berkatalah beliau dihadapan para ulama, "Dimakah engkau wahai para ulama akherat, hai penghianat-penghianat ilmu dan amal! Hai para berapa dari jumlah kamu yang menjadi korban-korban kemunafikan para raja dan sultan, sampai kau tak sadar mengambil rangsangan, seperangkat dunia dan kelezatannya ?
Pada faktanya , Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak akan mengucapkan kata-kata yang tandas dan jelas, kecuali kepada orang-orang yang tidak bersih hatinya karena Allah, serta tidak bersih hatinya menjadikan selain Allah penguasa jiwa.
Dari kisah diatas, bisa juga dijadikan bagi para umat muslim yang kritis, untuk tidak takut mengungkapkan sesuatu yang haq walaupun sebenarnya itu pahit. Bagi saya para politikus busuk lebih hina dari kaum musyrikin, para koruptor layaknya orang penghianat pada masa Rasul dan halal untuk dibunuh. Bagi saya, para koruptor yang memiliki kemewahan lebih hina dari wanita yang menjadi PSK karena miskin.
Para ulama seharusnya menjadi pengawal kebijakan pemerintah, bukannya ikut-ikutan politik dan berebut kekuasaan. Para ulama seharusnya bersifat independen, dan tidak menjadi kendaraan politik para politikus. Istigosah seharusnya untuk keselamatan bangsa bukan untuk kemenangan partai di pemilu.
0 komentar:
Posting Komentar