SEMINAR PUBLIK: GENEALOGY TERORISME DI INDONESIA PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Senin, 06 Desember 2010

Oleh: Adriansyah


Seminar publik yang diadakan BEM-J Sosiologi FISIP UIN JKT yang bertemakan "Genealogy Terorisme Di Indonesia Perspektif Sosiologi", bertempat di Aula Student Center (SC), pada tanggal 4 November 2010,pada pukul 09.30-12.00 WIB dengan mengadirkan narasumber Zaki Mubarak M.si (Pakar Politik UIN Syarif Hidayatullah) dan Herdi Sahrasad (PSIK PARAMADINA),dengan moderator Adriansyah (Presiden BEM-J Sosiologi). Seminar ini dipadati sekitar 300 orang peserta, walaupun sosialisasi acara tersebut sangat dadakan tapi mendapatkan respon yang besar dari mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah.

Awal acara diisi dengan sambutan ketua panitia yaitu Harsin Hamid dan Djaul Haq selaku Mentri koordinator Kelimuan BEM-J Sosiologi. Baru kemudian acara dilanjutkan dengan Seminar Publik:Genealogy Terorisme Di Indonesia Perspektif Sosiologi, dan Iqbal Fiqri (MC) menyerahkan acara pada moderator.

Yang mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan seminar tersebut adalah bapak Zaki Mubarak MS.i. Beliau mengatakan bahwa dalam semua agama ada terorisme. Contoh ada David Quraish seorang kristen Amerika yang banyak membunuh, di Yahudi juga ada terorisme dan di Islam juga terjadi saat pembunuhan Anwar Sadath.

Kemudian beliau dengan menggunakan infocus menampilkan peristiwa-peristiwa teror yang pernah terjadi di Indonesia, beliau menampilkan data-data yang lengkap dan akurat.

Beliau mengatakan perilaku terorisme bukan hanya seperti yang dilakukan Amrozi cs, tapi juga seperti yang dilakukan Amerika yang menebar teror di Irak dan Afghanistan, Israel juga menebar teror di Plaestine, Bahkan Imam Samudra dalam bukunya mengatakan aku jihad melawan teroris, dan pemerintahan Indonesia adalah antek Amerika maka pemerintah Indonesia adalah teroris menurut Imam Samudra.

Indikator-indikator terjadinya terorisme di Indonesia karena penafsiran agama tentang agama yang salah, banyaknya doktrin-doktrin dari kitab suci yang ditafsirkan tanpa disertai pendapat ulama, lalu juga karena latar belakang pendidikan, keluarga dan ekonomi yang kacau, dan juga usia muda yang masih labil dan mencari jati diri sehingga mudah dipengaruhi oleh ajaran Islam garis keras.

Menangani teroris bukan dengan Densus 88, tapi melalu pendekatan kultural,disertai keprihatinan beliau terhadap penembakan pelaku teror seperti Dulmatin yang sedang main internet, beliau menganggap itu bukan sebuah tindakan yang humanis, seharusnya ditangkap hidup-hidup dan diintrogasi agar terungkap siapa dalangnya selama ini.

Beliau menyarankan agar melibatkan para ahli agama dalam merubah pola pikir para pelaku teror,karena mereka sangat paham agama dan hafal banyak ayat-ayat al-Qur'an, maka para ulama harus dilibatkan, terakhir beliau juga memberi saran kepada peserta seminar untuk berhati-hati dalam meilih guru agama.

Selanjutnya, giliran bapak Herdi Sahrasad. Beliau mengatakan bahwa terorisme di Indonesia adalah copy paste dari para pejuang di Palestine, misalnya dalam aksi bom bunuh diri. Setiap pelaku bom bunuh diri berimajinasi untuk menghancurkan rezim thagut dan bertemu bidadari di surga.

Terorisme muncul saat perang dingin, misalnya munculnya tokoh yang bernama Carlos yang mampu meledakkan bom diberbagai negara di Timur Tengah. Sebagaimana yang dikatakan Cak Nur, setelah runtuhnya Uni Soviet, akan muncul teroris dari Islam. pak Herdi juga mengatakan Amerika membentuk musuh baru setelah Uni Soviet runtuh, yaitu Islam, karena penghasilan industri Amerika adalah dari perang, dari situlah mereka banyak memproduksi senjata.

Herdi Sahrasad juga mengatakan kalau terorisme adalah anak kandung dari modernisme, karena disanalah munculnya kapitalis sehingga banyak menindas dan memiskinkan negara yang kebanyakan adalah negara-negara Islam. Beliau mengatakan bahwa serangan Amerika pada negara-negara Islam adalah sebuah bentuk terorisme negara.

Beliau juga menyanggah peryataan pak Zaki Mubarak, beliau berpendapat bahwa teroris muncul bukan karena hanya latar belakang pendidikan dan ekonomi yang bermasalah, tapi juga ada dari kalangan orang terpelajar seperti Azahari yang merupakan otak teroris.

Inilah sekilas uraian seminar publik yang diadakan oleh BEM-J Sosiologi FISIP UIN JKT, seminar ini menggunakan pendekatan sosiologi dalam memahami tindakan terorisme.

Perkembangan Posko UIN (Relawan Jakarta Peduli dan BEM Sosiologi UIN Jakarta perluas penggalangan bantuan)

Senin, 15 November 2010


Jakarta Peduli News - Pada hari kamis kemarin taggal 11 november 2010 pokul 04.00 WIB posko jakarta peduli UIN bekerja sama denga BEM Sosiologi melanjutkan penggalangan dana bencana alam untuk merapi. wasior dan mentawi. untuk penggalangan dana kemarin para relawan di bagi dalam 2 tempat. Tim 1 di Wilayah Pasar Ciputat Tangerang Selatan dan tim 2 di wilayah Prempatan Pondok Indah Mol Jakarta Selatan.


Tim yang berjumlah sekitar 22 orang ini berhasil menggalang dana dari warga dan pedagang pasar sekitar Rp. 880.000 (Total keseluruhan), Rp.230.000 untuk Wilayah Pasar Ciputat dan Rp. 650.000 untuk wilayah Pondok Indah.


Total keseluruhan setelah beberapa hari mengadakan penggalangan dana sekitar Rp. 1.690.000. selain uang ada pula logistik seperti 1 kardus mie instan dan 1 pelastik baju layak pakai, relawan yang siap berangkat kelokasi 1 orang.


" Semoga kawan-kawan yang terkena musibah dapat merasa sedikit terbantu berkat penggalangan ini, terus perkuat rasa solidaritas kita terhadap teman-teman kita yang terkena musibah.... mari teman-temanku mahasiswa Indonesia, ayo ikut serta dalam solidaritas bersama Jakarta Peduli UIN untuk bantu korban merapi, wasior, dan nentawai... Walaupun kita dalam keadaan sulit kita tetap bisa tunjukkan solidaritas" ujar Bety koordinator Posko Jakarta Peduli di Kampus UIN.

ISLAM INDONESIA

Sabtu, 16 Januari 2010
Oleh: Adriansyah

Islam di Indonesia dalam catatan sejarah berdakwah dengan berdagang dan ilmu mistik (tasawuf). Bagi para pedagang siapa saja teman, baik yang pake jilbab atau yang cuma pake kemben, sedangkan dalam tasawuf mengajarkan kebersihan hati, sehingga semua wajah terlihat tulus tentunya kalau Islam masuk dengan tujuan politik maka wajah Islam jadi seperti topeng yang suka berubah-berubah.

Clifford Geerts membandingkan antara Islam di Maroko dan di tanah Jawa. Ciri khas di Maroko adalah hierarki seorang ksatria yang dianggap mempunyai darah keturunan Rasulullah saw, sedangkan Islam tanah Jawa berbudaya sinkretik dan terbagi menjadi tiga kategori yaitu santri, abangan dan priyayi. Namun, dalam tesis Prof. Bambang Pranowo yang berjudul Mengenal Islam Jawa beliau menghapuskan tiga kategori yang diberikan Clifford Geerts. Dengan faktanya, Sultan Hamengku Buwono x seorang priyayi namun juga pergi haji layaknya kaum santri, Waljinah seorang abangan juga pergi haji, para santri dipesantren juga banyak yang melakukan puasa mutih dan yang merupakan tradisi Jawa, dan para BTI (organisasi petani bentukan PKI) mereka seorang abangan tapi juga rajin membaca al-Qur'an dan suaranya juga merdu, Bung Hatta yang nasionalis sekuler namun dikatakan oleh KH. Agus Salim sangat religius kesehariannya. Maka, sebenarnya Islam bukan sekedar pengamalan syari'at secara hati-hati seperti yang dikatakan kaum modernis, tapi Islam juga dengan penghayatan hakekat.

Islam dikatakan sebagai rahmatan lil alamin, maka seharusnya Islam bisa diterima dimanapun, letak geografis manapun dan segala macam kultur yang ada dimuka bumi ini, dikatakan juga shalih li kulli zamani wa makan (relevan dengan semua zaman), atau singkatnya Islam tidak harus budaya Arab. Indonesia walaupun bukan sebagai negara Islam, tapi Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, Indonesia adalah negara yang dalam sejarah bisa mempersatukan para ulama dan para sosialis sekuler, contohnya saja KH. Hasyim Asy'ari dengan massa basis pesantren mau bekerjasama dengan Bung Tomo seorang sosialis sekuler untuk melawan Belanda di Surabaya.

Seiring pergantian waktu, identitas Islam Indonesia mulai terpinggirkan oleh paham-paham import yang cenderung berpikiran ekstrim dan ekslusif. Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang disepakati semua golongan pada saat itu demi terwujudnya kedaulatan NKRI, justru oleh paham import ini disebut kufur dan thagut. Apalagi paham radikal yang semakin merebak, semakin mudahnya memberikan vonis kafir. Umat Islam seakan-akan sangat haus darah, ketika melihat kemungkaran langsung ingin main pukul saja, tanpa ingin mengunakan bahasa yang lemah lembut dan hikmah. Kalau biasanya kalimat takbir digunakan untuk azan, sholat, dan bacaan wirid, lama-lama beralih fungsi untuk diterikan saat demonstrasi dan waktu chaos. Yang menyerang teriak takbir dan yang diserang istighfar.

Para umat Islam Indonesia harus mau kembali merajut identitas Islam Indonesia, tentunya dengan metode dakwah para wali songo yang toleran, lemah lembut dan mengandung hikmah. Para ulama harus intropeksi diri, cobalah lihat kondisi umat secara kritis, jangan hanya sibuk melakukan kajian diruang ber AC untuk mengeluarkan fatwa halal atau haram. Misalnya saja mengatakan bom bunuh diri yang dilakukan teroris Indonesia haram, tapi teroris itu malahan sukses kaderisasi, sedangkan ulama hanya kembali diskusi tanpa memberi solusi. Apalagi paham pluralisme yang sudah ada sejak lama dan terbukti sukses menjalin dialog dan kerukunan umat beragama, justru di vonis haram tanpa adanya metode riset ilmiah.

NU DAN SOLIDARITAS UMAT

Sabtu, 09 Januari 2010
Saya disini tidak ingin membahas tentang sejarah NU atau membahas aqidah ahlussunnah wal jama'ah yang dianut NU. Tapi ada beberapa hal yang menarik dari NU tentang tradisi keislaman dan ke Indonesiaan, NU menurut saya adalah ormas Islam sudah diperhitungkan dimata dunia.

Emil Durkeim mendefinisikan agama merupakan sistem kepercayaan yang menyatukan praktek kepada sesuatu yang sakral, yang menyatukan dalam komunitas tertentu. Dari sini bisa kita lihat tradisi NU dengan tahlilan, yasinan, talqin, ziarah kubur dan maulid Nabi telah menigkatkan integritas masyarakat. Dalam buku suicide karangan Durkheim, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya bunuh diri diantaranya integritas yang lemah (egoistik), anomie (keadaan masyarakat tanpa moral). Dari buku itu bisa disimpulkan bahwa agama tidak hanya dibutuhkan moral, tapi juga integritas masyarakat beragama itu sendiri.

Saya sendiri belum menemukan dalil tentang budaya tahlilan yang dari 3 hari, 7 hari hingga 40 hari bahkan sampai 100 hari. Itu kalau kita lihat dari segi furu, tapi kalau kita lihat dari maslahat baik dari segi psikologi dan sosiologi ritual ini sangat baik. Saya berkali-kali harir ke acara yasin dan tahlil pada orang yang sudah meninggal dunia, keluarga si mayit yang tadinya menagis histeris berubah menjadi tenang ketika para jama'ah mebacakan ayat suci dan doa bersama, ini membuktikan bahwa dengan mengingat Allah swt maka hati akan menjadi tenang.

Salah satu ritual yang sering dijadikan rutinitas tahunan kaum Nahdlyin adalah memperingati maulid Nabi sholallahu alaihi wa salam. Kegiatan ini biasanya berupa tabligh akbar, tawasul, barjanzi dan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Tradisi ini muncul ketika masa sultan Sholahudin al-Ayyubi, beliau rela mengeluarkan uang besar untuk merayakan maulid. Sebagaimana narasi kaum orientalis bahwa yang membuat umat muslim menang dalam perang salib diantaranya adalah semangat untuk mati sayhid, tasawuf, ziarah ke makam Nabi saw, sahabat r.a, dan para syuhada. Dan yang paling utama sultan Sholahudin juga sering membaca sejarah Nabi saw kepada para pasukan muslim.

Di timur tengah pernah mengalami masa pergolakan, ketika Ibn Su'ud ingin menyatukan dalam mazhab tunggal, banyak kalangan muslim sunni yang menolak, maka dibentuklah pada saat itu komite Hijaz dan saat itu perwakilan NU adalah KH. Wahab Chasbullah. Pada komite tersebut para ulama-ulama menginginkan kebebasan melakukan ritual haji sesuai dengan mazhab masing-masing. Sejak saat itu para ulama di Indonesia membentuk Nahdlatul ulama (kebangkitan ulama) dan ada juga Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Lathiful quluq menyebut berdirinya NU adalah fajar kebangkitan ulama, kalau Said Aqil Siradj menyebutnya rainansance. Perbedaan mazhab bukan suatu perkara besar yang penting dalam perkara ushul tetap sama. Soslidaritas bukan hanya didasarkan berbagi nilai dan budaya yang sama, tapi juga sesuatu yang kompleks. Walaupun empat mazhab namun tetap satu dalam tujuan.

PLURALISME

Kamis, 07 Januari 2010
Oleh: Adriansyah ASWAJA

Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah Islamiyah. Istilah ini perlu didudukan maknanya, agar bahasa kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu perlu terlebih dulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkai dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga ukhuwah Islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam.”


II. Al-maidah ayat 48

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ 48.

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian [421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu [422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, [421]


Dalam mengomentari ayat tersebut, Thabathaba’I mengatakan, setiap umat memiliki syari’at yang berbeda dengan syari’at umat lain. Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan menciptakan satu umat dan satu syari’at. Thabathaba’I berkata: “sesungguhnya Allah menyuruh hambaNya untuk beribadah untuk satu agama, yaitu tunduk kepadanya. Namun, untuk mencapai itu, Allah membuatkan jalan berbeda-beda dan membuat sunnah bermacam-macam bagi hamba hambaNya menurut perbedaan kesiapan mereka dan keragamannya”.[1]

Akan tetapi menurut al-Qurthubi, Allah membuat beragam syari’at untuk menguji keimanan manusia. Ada syari’at Nabi Muhammad saw, disamping syari’at Nuh as, Ibrahim as, Musa as, dan Isa as. Ibn Jarir al-Thabari mengutip pendapat Qatadah (117 H) menyatakan, “agama itu sama sementara syari’at itu berbeda-beda. Thabathaba’I juga menghimbau agar setiap umat tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan syari’at tersebut. Yang perlu dilakukan adalah mencari titik temu sebanyak mungkin diantara umat yang beraneka ragam tersebut. Umat Islam diperintahkan agar menghargai bahkan mempelajari syari’at-syari’at sebelum Islam tersebut. Ini sebabnya para ahli ushul fiqih menyatakan syari’at sebelum Islam (syar’u man qablana) bisa menjadi sumber hokum Islam.[2]


Ayat tersebut memperlihatkan keragaman jalan yang diberikan Allah swt kepada manusia. Dengan jelas bahwa syari’at agama-agama itu memang berbeda, tak ditunggalkan. Ini karena agama turun bukan di ruang hampa sejarah. Syari’at biasanya muncul sebagai respon terhadap kondisi jaman.

Ini sebabnya, setiap Nabi membawa syari’at sendiri-sendiri. Walau gagasan yang di usung para Nabi dan Rasul adalah parallel, syari’at yang dipakai cenderung berbeda. Sebab, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena mengandung maslahat, kemudian Allah swt melarang pada waktu yang lain karena diketahui aturan tersebut tidak lagi mendatangkan maslahat.

Dengan demikian, syari’at yang turun kepada Nabi Isa tak mengikat umat Islam. Begitu juga, syari’at yang dibawa nabi Muhammad saw tak mengikat umat Nasrani.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab berkata , Guna memantapkan ukhuwah, pertama kali al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hokum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak ilahi. Juga demi kelestarian hidup, sekaligus juga mencapai tujuan kehidupan mahluk dipentas bumi.

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan manusia tanpa akal budi seperti binatang, atau benda-benda yang tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.[3]

Lalu juga ada ayat al-Qur'an mengenai bagaimana menjalin hubungan baik kepada umat agama lain


Ali Imran ayat 64

64. Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim. (QS. 3:64)


Al-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat sawa dalam ayat tersebut adalah kalimat keadilan, yaitu komitmen untuk meng Esa-kan Allah swt dan berusaha menghindar dari mempersekutukannya. Wahab Zuhaili menyatakan, yang dimaksud kalimat sawa dalam ayat diatas adalah kalimat Tauhid (monotheisme). Dilihat dari sisi ini, maka ahl al-kitab merupakan kelompok yang menganut monotheisme (tauhid). Tentu saja makna kalimat sawa tak terbatas dalam pada makna-makna teologis itu. Jawdat Said menyatakan bahwa kalimat sawa adalah ajaran kesetaraan seluruh umat manusia, keadilan, menyelesaikan masalah dengan damai, menolak pembunuhan dan ekskomunikasi karena beda pikiran dan keyakinan. Rasulullah sudah memberikan teladan yang baik dengan membuat “piagam Madinah” untuk mencari solusi kesepakatan-kesepakatan antara umat Islam dan umat Yahudi dan orang-orang Musyrik di Madinah.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengatakan,.dalam ayat ini Al-Quran juga mencari titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan. Jalinan persaudaraan antara sesama muslim dan non muslim sama selain tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menjaga hak-hak kaum muslim. [4]

Dua organisasi terbesar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal kemerdekaan juga sudah menyepakati Pancasila sebagai dasar Negara, dan juga semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda namun tetap satu jua). Pada muktamar di pondok pesantren Situ Bondo, Jawa Timur pada tahun 1984, NU menekankan kembali komitmen Pancasila sebagai dasar Negara secara final berdasarkan syari’at. Seorang ulama yang bernama KH. Ahmad Siddik, mengemukakan tiga gagasan persaudaraan (ukhuwah): Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan bangsa) dan Ukhuwah Insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).[5]

Menurut pendapat saya, MUI sebagai lembaga kajian Islam sebaiknya mencabut kembali fatwanya tentang haramnya pluralisme. Karena, bisa menimbulkan perpecahan umat. Walaupun dalam ushul fiqih fatwa ulama masih bisa di tolak, alangkah baiknya MUI mengadakan dialog dulu sebelum berfatwa, agar fatwanya bisa lebih obyektif.




[1] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 493-494.

[2] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi berbasis Al-Qur’an, hlm xiv.



[3] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi berbasis Al-Qur’an, hlm. 165.

[4] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi berbasis Al-Qur’an, hlm. 165.

[5] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 491-492.

Kritik Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Tidak disangsikan lagi bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. adalah orang yang tidak pernah berhenti menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Sebab, beliau berada di pihak penyeru yang benar. Seruan itu ditujukan pada khalifah, menteri, sultan, hakim dan masyarakat, baik yang sipil maupun militer. Beliau menuarakan melalui mimbar-mimbar, persaksian-persaksian dan organisasi-organisasi. Selain itu, dia adalah seorang penentang penguasa yang memerintah rakyat dengan kejam dan zalim.

Ketika Al-Muqtafi liamrillah melimpahkan kuasa pemerintahannya kepada Al-Qadhi Abil Wafa Yahya bin Said bin Yahya bin Mudhaffar, terkenal dengan predikat anak zalim, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berpidato diatas mimbar.

"Tampaknya saat ini, telah memerintah terhadap kaum muslimin seorang pemimpin yang sangat aniaya, bagaimanakah pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah, Tuhan seru sekalian alam, Dzat Rahman dan Rahim ?"

Ketika mendengar pidato itu, gemetarlah khalifah dan ia menangis, dan ia berubah menjadi orang yang menyibukan diri dengan ber uzlah.

Syekh Abdul Qadil Al-Jailani juga pernah mencela ulama-ulama gedongan yang menjadi milik para raja dan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Secara resmi mereka menjadi teman sejawat, bahkan menjadi orang yang setia menjadi corongnya.

Berkatalah beliau dihadapan para ulama, "Dimakah engkau wahai para ulama akherat, hai penghianat-penghianat ilmu dan amal! Hai para berapa dari jumlah kamu yang menjadi korban-korban kemunafikan para raja dan sultan, sampai kau tak sadar mengambil rangsangan, seperangkat dunia dan kelezatannya ?

Pada faktanya , Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak akan mengucapkan kata-kata yang tandas dan jelas, kecuali kepada orang-orang yang tidak bersih hatinya karena Allah, serta tidak bersih hatinya menjadikan selain Allah penguasa jiwa.

Dari kisah diatas, bisa juga dijadikan bagi para umat muslim yang kritis, untuk tidak takut mengungkapkan sesuatu yang haq walaupun sebenarnya itu pahit. Bagi saya para politikus busuk lebih hina dari kaum musyrikin, para koruptor layaknya orang penghianat pada masa Rasul dan halal untuk dibunuh. Bagi saya, para koruptor yang memiliki kemewahan lebih hina dari wanita yang menjadi PSK karena miskin.

Para ulama seharusnya menjadi pengawal kebijakan pemerintah, bukannya ikut-ikutan politik dan berebut kekuasaan. Para ulama seharusnya bersifat independen, dan tidak menjadi kendaraan politik para politikus. Istigosah seharusnya untuk keselamatan bangsa bukan untuk kemenangan partai di pemilu.

ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

Rabu, 06 Januari 2010
Istilah Islam radikal adalah sebuah kesatuan dari sebuah fenomena kesatuan keagamaan kelompok muslim yang kompleks, yang kadang tidak sepenuhnya mampu mendeskripsikan fenomena yang beragam, atas gerakan-gerakan yang kurang tepat untuk sebuah julukan yang mapan dan tidak berubah.

Ada beberapa ideologi gerakan-gerakan ini, pertama, negara berdasarkan syari'at Islam wajib di tegakan sebagaimana DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia), lalu juga ada Karto suwiryo pemimpin NII (Negara Islam Indonesia). Bahkan ada anekdot, Soekarno dan Kartosuwiryo adalah sama-sama murid Tjokroaminoto, Soekarno berkata pada gurunya kalau ia bercita-cita jadi presiden, lalu Kartosuwiryo bercita-cita mengacaukan negara yang dipimpin Soekarno. Mungkin dulu sering main perang-perangan.

NII masa Kartosuwiryo menurut saya masih bisa dihormati, namun NII saat ini sangat aneh, mereka masuk ke Universitas-Universitas yang dimana mahasiswanya masih awam dalam pendidikan agama untuk di rekrut. NII menawarkan kepada targetnya untuk hijrah, mereka mendoktrin dengan ayat-ayat yang sudah mereka hafal, sehingga mereka dengan ayat-ayat tersebut memvonis negara Republik Indonesia adalah thagut, karena tidak berdasarkan syari'at Islam. Yang anehnya, setiap anggota diminta registrasi sebesar 500.000 rupiah untuk biaya hijrah. Mereka diperbolehkan mencuri dari orang tua dan teman-teman mereka yang belum hijrah ke NII, karena dianggapnya orang selain NII adalah kafir dan pengikut Thagut.

Kemudian organisasi yang eksklusive yang bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi ini mempunyai pemimpin spiritual yang bernama Taqiyudin an-Nabahani. Mereka mempunyai cita-cita besar, yaitu mendirikan khilafah Islamiyah dari Asia sampai Australia. Terkesan khayalan tingkat tinggi, tapi itulah mereka. Padahal, semua negara berpaham kebangsaan, semua negara mempunyai semangat nasionalisme, untuk dijadikan khalifah 500 tahun saya rasa tidak cukup. Saya mengatakan HTI radikal dikarenakan paham mereka bahwa semua negara sistem kufur sebelum berdiri Khilafah.
Dan faktanya mereka menolak hormat pada bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Padahal, kalau mereka tau perjuangan para kyai dan pahlawan untuk membuat negeri ini merdeka dengan darah, keringat dan air mata, maka saya yakin mereka akan gemetar mendengar lagu kebangsaan.

Front Pembela Islam (FPI), sebenarnya organisasi ini berhaluan ahlussunnah wal jamaah, mereka bermazhab syafi'i, namun sayangnya mereka tidak bersikap at-Tawasuth (moderat) dalam bertindak, walaupun saya salut pada Habib Rizieq yang mau dialog dengan umat Kristiani, namun terkadang massa FPI bertindak di luar kontrol. Misalnya saja kasus di Monas dengan AKKBB, lalu penggerebekan tempat pelacuran namun merusak fasilitas umum. Saya lebih setuju dengan cara pak Sutiyoso terhadap Keramat Tunggak. Beliau menyuruh para ahli ilmu sosial untuk menanganinya, dan akhirnya para PSK diberikan modal dan keterampilan lalu dikirim ke kampung halaman masing-masing, dan akhirnya Keramat Tunggak menjadi Islamic Center. Walaupun pak Sutiyoso seorang mantan tentara tapi beliau tidak brutal, namun orang sipil justru ingin brutal seperti tentara di medan perang.

Maka dari itu, ceramah-ceramah agama seharusnya lebih mengajarkan tentang sikap tawasuth (moderat) dan at-Tasamuh (toleran) sebagaimana ajaran Ahlussunnah wal jam'aah. Umat Islam harus lebih rasional, gunakan akal dan terlalu sering menggunakan nafsu dalam bertindak.







KEADILAN GENDER

Selasa, 05 Januari 2010
Oleh: Adriansyah

Gender adalah sikap dan peran laki-laki dan perempuan yang di rekontruksi oleh budaya. Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya dari alat seksual, namun perkara sikapnya itu tergantung dari sosial budaya. Maka muncullah kesadaran akan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan (feminisme) di karenakan kultural atau aturan sebuah negara, misalnya saja budaya patriarki yang menurut saya sudah tidak relevan lagi di zaman millenium dewasa ini.

Pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan seringkali mencari pembenaran melalui perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Secara biologis, laki-laki dan perempuan mempunya alat fungsi reproduksi yang berbeda. Perbedaan ini kemudian melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Karena, perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, maka perempuan dipandang sudah seharusnya bertanggung jawab dalam pengasuhan anak, padahal laki-laki juga ikut kontribusi sehingga anak itu lahir, jadi aneh kalau laki-laki hanya mau enaknya saja.

Kemudian laki-laki dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab menanggung perempuan dan anak-anak, sehingga tempat laki-laki adalah di sector publik sedangkan wanita hanya di sektor domestic (marjinalisasi).

Perempuan mencari nafkah karena tuntutan ekonomi yang biasa ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja public sebenarnya bukan hal yang baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada di strata menengah bawah. Di pedesaan, perempuan mendominasi sektor pertanian, sementara di sektor industri tertentu di perkotaan di dominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan.

Seorang teolog sosial dari Indian yang bernama Asghar Ali Engineer, beliau pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah traktat revolusioner yang pernah ada di muka bumi ini, karena misinya yang revolusioner. Al-Quran merubah struktur dan system jahiliah yang tirani dan tidak adil, baik secara sosial, ekonomi, politik maupun gender. Dalam surat An Nisa ayat 32 Allah swt berfirman: “li ar-rijali nashibun min makhtasabu wa li an-nisa’i nashibun min maktasabna” (bagi kaum laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi kaum perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan). Ayat ini menegaskan kesetaraan posisi dan hak kepemilikan antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah sesuatu yang revolusioner dalam kondisi masyarakat dimana perempuan tidak memiliki hak apapun di masa jahiliyah. Hal ini merupakan legitimasi teologis yang penting untuk kesetaraan sosiologis.

Pada masa Rasulullah saw berdakwah, laki-laki Arab Jahiliah menikah dengan puluhan bahkan ratusan istri, sehingga Rasulullah saw menyuruh memilih empat dan ceraikan sisanya, dan itu sudah sangat revolusioner. Namun, pada intinya Islam hanya menganjurkan monogami, dengan alasan agar bisa berbuat adil. Maka bisa disimpulkan, tokoh feminisme Islam pertama adalah Nabi Muhammad saw.

Pernah muncul fenomena-fenomena di beberapa Negara Islam yang dipimpin kalangan kaum fundamentalis, adanya stagnasi dan penolakan terhadap perubahan. Kaum perempuan terus mengalami diskriminasi seks, setiap legilasi progresif yang memberikan hak-hak Islam kepada perempuan disambut penolakan keras ulama konservatif. Hukum syariat telah sepenuhnya menjadi stagnan di tangan kelompok ulama konservatif dan semangat dinamikanya telah hilang secara total. Sebagai contoh, wanita Kuwait belakangan ini tidak diberikan hak memilih saat pemilu, karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Wanita-wanita Kuwait berjuang untuk hak pilihnya. Pada sisi lain, di Bangladesh, Turki, dan Indonesia, kaum wanita bukan hanya diberi hak pilih, tapi bahkan menjadi pemimpin Negara.

Rezim Taliban di Afghanistan saat berkuasa tidak membolehkan kaum perempuan keluar rumah dan pergi sekolah. Di sebagian Negara Islam, perempuan tidak di izinkan ke pasar atau tempat publik lain tanpa ditemani keluarga lelaki, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun, dan semua itu dilakukan atas nama Islam.

Para
ulama seringkali mengingatkan kita bahwa pembacaan terhadap terhadap al-Quran harus disertai asbabu al-nuzul sebagai landasan tafsir. Asbabu al- nuzul merupakan salah satu dari konteks sosio-historis dan antropologis dari al-quran. Jika kita melepaskan al-quran dari konteks histories dan sosiologinya, maka sulit rasanya kita menjawab tantangan zaman yang berkembang sekarang ini dengan al-quran.

Pada masa jahiliah, di jazirah Arabia perempuan tidak memperoleh jatah warisan sama sekali, bahkan perempuan dianggap sebagai obyek layaknya binatang. Kemudian di wahyukan Surah An-Nisa ayat 11, li al- dzakarin mitslu hadzdzil untsayain, bahwa porsi perempuan separuh daripada laki-laki. Lalu ada yang menafsirkan ayat ini tidak adil, karena separuh dan satu. Jangan dilihat dari tekstual saja, tapi lihatlah dari misinya ketika ayat ini turun.

Ketika Rasul saw hijrah ke Madinah, Islam juga bereaksi terhadap komunitas Yahudi disana, Islam banyak mengkritik komunitas Yahudi yang tidak memanusiakan perempuan.

Satu hal yang penting untuk diperhatikan ketika Rasulullah saw menjadi pemimpin masyarakat. Perempuan diberi hak untuk bicara dan untuk didengar. Kalau hanya diberi hak bicara namun tidak didengar, tetap saja itu bentuk pengebirian. Contohnya Aisyah dan Ummu Salamah ikut menyusun strategi perang khandaq.

Pada masa Rasulullah saw ada yang perlu di catat dalam tinta emas. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Isabah fi Tarmidzi as-Shabah menulis 12.304 biografi, dan 1.551 diantaranya adalah sahabat perempuan (shahabiyat). Ibnu Hibban mencatat 1,9 % perempuan meriwayatkan hadis, pada masa sahabat yang terlibat dalam transmisi ke ilmuan 16,5 %. Dan ini penurunan yang drastis.

Keadilan sosial di Jazirah Arab terjadi karena Rasulullah saw merekontruksi dari masyarat yang dikriminatif menjadi egaliter. Perbedaan laki-laki dan perempuan boleh saja, asalkan tidak melenceng dari keadilan. Inna Allaha ya’muru bi al-adli wa al-ihsan (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan kebajikan).

Bedah Pemikiran Gus Dur

Oleh: Adriansyah

Banyak sekali pemikiran Gus Dur yang menjadi kontroversial, beliau terkesan nyeleneh, tidak mau ambil pusing dalam urusan, seperti ucapan yang familiar "gitu aja kok repot". Namun, sebenarnya setiap ucapan beliau yang sederhana itu memiliki makna yang sangat luas sekali, maka dari itu saya coba bedah pemikiran beliau.

Ketika beliau di undang oleh salah satu stasiun televisi, beliau ditanya tentang gempa bumi di Bantul, lalu beliau jawab "itu karena nyi Roro Kidul dipaksa pake jilbab." terkesan menghina tapi maknanya luas. Nyai Roro Kidul merupakan simbol budaya, beliau mencoba mengkritik PERDA syari'ah yang mewajibkan jilbab, padahal banyak budaya masyarakat yang sudah ratusan tahun harus diperhatikan, lagipula jilbab bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Kita harus toleransi, yaitu dengan sikap saling menghargai, saling menerima, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi dan karakter manusia.

Ketika banyak yang mendukung RUU anti pornografi, Gus Dur sempat bersteatment bahwa al-Qur'an kitab paling porno di dunia, sehingga banyak yang menghina Gus Dur dengan kata-kata kasar. Padahal kalau dilihat konteksnya, ilmu kedokteran, ilmu biologi, dan hadits banyak sesuatu yang porno, namun tujuannya bukan untuk maksiat, melainkan untuk menjelaskan dan memberi petunjuk. Saya pernah baca hadits tentang tata cara berhubungan suami istri, lalu hadits tentang istibra bagi laki-laki dan wanita, walaupun porno tapi bermanfaat. Lagu Umi kaltsum yang tentang gaya-gaya dalam berhubungan intim justru banyak didengar para ulama di Mesir.

Gus Dur terkenal sebagai bapak Pluralisme, dan sering timbul spekulasi Gus Dur menganggap semua agama benar, padahal itu tidak benar. Gus Dur hanya memberi kita kesadaran bahwa kita hidup ditengah keragaman budaya dan agama, dalam al-Qur'an juga banyak diceritakan tentang ahlul kitab, orang kafir, orang musyrik dll. Maka dari itu al- Qur'an mengajari kepada umat muslim bagaimana berinteraksi dan berhubungan dengan orang yang beda aqidah dengan kita, al-Qur'an jangan hanya dijadikan bahan bacaan, tapi coba kita lihat juga secara kontekstualnya, atau kata para ulama lihat asbabul Nuzulnya, agar al-Qur'an bisa kita gunakan untuk menjawab tantangan zaman.

Gus Dur juga membawa paham multikulturalisme, yaitu paham yang memberikan perhatian terhadap kelompok minoritas, sehingga mereka mempunyai hak sebagaimana kalangan mayoritas. Salah satu contohnya Gus Dur memberikan kebebasan kepada agama Kong hu cu untuk merayakan imlek. Beliau juga berani membela Ahmadiyah yang tertindas, dimana kantor, rumah dan masjidnya dihancurkan bahkan juga ada yang dibakar. Bagi Gus Dur seseorang yang sudah mempunyai keyakinan kuat pada ajaran agamanya, tidak perlu repot dengan keyakinan orang lain.

Yang paling kontroversial adalah ketika Gus Dur mendapat medali dari Israel, dan beliau mengatakan Hamas berperang dengan nafsu sedangkan Israel dengan akal. Saya rasa itu bisa dibenarkan juga, secara peralatan Hamas masih kalah dengan Israel, tapi Hamas dengan nekat menembakan rudal ke Israel, dan hasilnya banyak jatuh korban di Gaza. Kita lihat saja KH. Hasyim Asy'ari (kakek Gus Dur), beliau sangat membenci Belanda, tapi beliau pernah mengobati anak dari kapten Belanda, dan dalam Ahlussunnah wal jama'ah disebut sikap tawasuth (moderat). Bung Karno sangat membenci Belanda, beliau dibilang pemberontak, tapi beliau masih mau kuliah di Stovia. Salah satu strategi perang Machiavelli adalah masuk kedalam musuh, dan hancurkan dari dalam, bukannya menyerang dari luar tanpa tau seberapa kuat musuh.

Saya rasa orang-orang yang membenci Gus Dur harus banyak intropeksi, jangan hanya mencela tapi tanpa solusi. Intinya pluralisme dan multikulturalisme telah kita rasakan dampak baiknya hingga saat ini, sedangkan radikalisme telah kita rasakan dampak buruknya hingga saat ini juga. Wallahul muwaffiq ila aqmamith at-Thariq.