Adriansyah
Banyak yang bertanya apakah ahlussunnah wal Jamaah itu? Siapakah yang dimaksud golongan ahlussunnah wal jama’ah? Ada juga yang pernah menjawab ahlussunnah wal jamaah memiliki ciri kalau salat subuh memakai qunut, salat jumat adzan dua kali, merayakan maulid nabi Muhammad saw, ziarah kubur dan lain sebagainya. Dari perkataan itu bisa dikatakan bahwa wawasan sebagian masyarakat terhadap ahlus sunnah wal jamaah masih sangat minim, padahal pemahaman tentang ahlul sunnah wal jamaah masih sangat luas.
Menurut K.H Hasyim Asy’ari ahlussunah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur’an, sunnah rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi rasul dan Khulafaur Rasyidin. Beliau selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut yang mengikuti madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari sebuah hadis, Rasul bersabda bahwa “Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku (Islam) akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat. “ Ketika ditanya, “mana yang akan selamat?” beliau menjawab, “Mereka yang mengikuti jalanku dan para sahabatku”. Kelompok ini berarti sunni, yang bersebrangan dengan syi’ah, yang mengkalim bahwa kepemimpinan umat Islam merupakan hak prerogatif Ali bin Abi Thalib dan keturunannya,syi’ah juga berpendapat bahwa para imam mereka ma’sum(terjaga dari salah dan dosa), keyakinan ahlussunnah kema’suman hanya milik para Nabi dan Rasul
Dalam bidang teologi, sunni mengikuti Asyari’ah, Thowawiyah dan Maturidiah. Muslim sunni mengikuti keabsahan sufi ortodok sebagaimana yang diajarkan oleh Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali yang menolak adanya maqam wahdatul wujud (penyatuan dengan Allah swt) dan hulul yang di ajarkan pada tasawuf falsafi. Ahlussunnah berbeda dengan mu’tazilah, yang tidak percaya pada adanya sifat-sifat Allah (asmaul husnah), karena itu Mu’tazilah bertentangan dengan al Qur’an dan al hadis, mu’tazilah juga mengatakan al Qur’an itu mahluk, yang mushafnya boleh jadi alas duduk atau diinjak, pendapat itu ditentang oleh Imam Hambali, beliau mengatakan al-Qur’an itu firman Allah, dan jawaban itu menyebabkan Imam Hambali dipenjara 8 bulan, dan pada pemerintahan Harun ar Rasyid Mu’tazilah ajarannya dilarang untuk disebarkan. Ahlussunah berbeda dengan Qadariyah, Qadariyah tidak percaya pada takdir, Ahlussunah tidak melakukan ta’wil pada ayat mustasyabihat (maknanya masih samar), dan menyerahkannya kepada Allah, seperti contohnya, firman Allah: “Allah ar- Rahman bersemayam di atas arsy”, kita tidak boleh memaknai kata “bersemayam” sebagaimana seseorang bersemayam. Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang yang pernah berkata, “Allah turun dari arsy seperti Ibn Taimiyah turun dari mimbarnya.” Perkataan Ibn Taimiyah bertentangan dengan paham Ahlussunnah wal jama’ah, karena ia telah menyamakan Allah dengan mahluk ciptaannya.
Pada abad awal abad ke 20, suatu paham yang disebut sebagai paham wahabi yang mempunyai pengaruh cukup kuat pada sebagian orang Indonesia. Paham ini termasuk sangat radikal dalam pemikirannya, wahabi diambil dari nama pendirinya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab, wahabiyah memandang segala bentuk tradisi yang tidak ditemukan dalam sunnah nabi adalah bid’ah yang sesat. Wahabisme mengatakan bahwa umat muslim yang percaya akan adanya karomah para waliyullah dan kekuatan spiritual adalah perbuatan bid’ah dan musyrik. Untuk menghindari bid’ah, kemusyrikan dan khufarat, maka tempat-tempat keramat harus dihancurkan. Maka apabila logika mereka diteruskan maka makam para wali yang ada keramatnya harus dihancurkan, makam para syuhada ada keramatnya harus dihancurkan, makam Rasulullah saw ada keramatnya harus dihancurkan, dan tempat paling keramat seperti Ka’bah pada gilirannya juga harus dihancurkan. Na’udzubillah…!!!
Wari Maulana yang merupakan alumni organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah, mengatakan bahwa gerakan wahabi lebih cocok disebut sebagai “gerakan mutilasi ajaran Islam”. Mereka memvonis ungkapan cinta kaum muslimin kepada Rasulullah dalam bentuk shalawat dan barjanzi pada saat mauludan divonis bid’ah, khufarat dan musyrik. Padahal Allah swt dan para malaikat bershalawat kepada Nabi.
Menurut Sami Agnawi, pakar arsitektur Islam, sejarah mencatat 300 situs bersejarah di Makkah dan Madinah telah dimusnahkan dalam kurun 50 tahun. Itu terjadi karena pengaruh pemikiran wahabi yang sangat hegemonic disana.
Meluasnya pengaruh pemikiran barat dalam dunia Islam, akibat penjajahan (hampir seluruh Negara Islam sampai dengan abad 19 M berada dalam kekuasaan penjajah Barat). Terutama pemikiran dalam masalah-masalah agama yang sedang mengalami transformasi. Jamaluddin Al-Afghani (dalam bidang social politik) dan Muhammad Abdul Wahab (dalam bidang social keagamaan), yang secara kebetulan kedua tokoh tersebut mempunyai kontak dengan pemikiran barat. Akrabnya Jamaluddin Al-Afghani dengan Mr.Blant, dan bagaimana intimnya Muhammad bin Abdul Wahab dengan Lord Cromer, dapat kita telaah dalam buku-buku biografi kedua tokoh ini.
Perkembangan ini melahirkan dua pemikiran dalam Islam, yakni rasionalisasi Islam dan pemurnian Islam, yang keduanya memberikan dampak terhadap tradisi ke-Islaman yang sudah membudaya.
Konsep westernisasi yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran dan peradaban Barat dalam berbagai aspek. Mulai dari masalah aqidah sampai ke masalah system politik dan ekonomi serta moral. Isu yang paling banyak dikemukakan adalah membuka kembali pintu ijtihad, dan penggunaan peranan akal sebesar-besarnya. Liberalisasi ijtihad ini menjadi semakin parah, setelah menjalar kepada orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang agama, tetapi berminat untuk berijtihad, sehingga ijtihad menjadi mode tanpa standarisasi.
Menurut Dr. Muhammad M. Husein, bukannya terbatas pada konflik pemikiran antara sesama Islam, tetapi yang lebih serius adalah hilangnya kepekaan dalam umat ini untuk membedakan mana yang sebenarnya Islami dan mana yang western(pembaratan).
K.H. Hasyin Asy’ari juga meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklain mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis. Beliau menganjurkan bahwa “ kita tidak dapat mengikuti fatwa-fatwa ulama tersebut yang memaksa mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persyaratan yang cukup untuk berijtihad.’’
Intinya adalah Al-Qur’an, hadits, ijma, qias, dan maslaihul mursalah adalah langkah yang harus ditempuh sebagai upaya untuk tetap menjaga agar cara-cara beragama yang dipraktekan para ulama salafussalihin itu tetap terpelihara.